Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Penyelesaian Konflik Batas Desa. Batas Desa merupakan pemisahan batas wilayah Administrasi Desa secara tegas di Lapangan.  Kejelasan batas wilayah tersebut menjadi patokan setiap wilayah dalam mengelola segala urusan administrasinya. Batas desa adalah salah satu contoh penegasan batas dalam skala kecil namun sangat penting.

Karena batas desa merupakan batas awal dimana akan mempengaruhi batas-batas lainnya seperti batas kecamatan, batas kabupaten dan Provinsi. Batas desa umumnya akan dapat diterima oleh semua pihak. Apabila didukung oleh dokumen otentik berupa, peta batas daerah dan tanda fisik di lapangan barupa pilar tanda batas.

Pemerintah desa melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan. Artinya kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa tidak boleh melampaui batas daerah. Yakni batas  yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Permendagri No: 45 tahun 2016 tentang Pedoman penetapan dan penegasan batas desa. Disana disebutkan bahwa Batas Desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar desa.

Resep Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Batas Desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti : Gigir/punggung gunung/pegunungan; median sungai, dan unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penetapan dan penegasan batas Desa bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan. Untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu Desa, yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Sumber konflik batas Desa yang paling sering terjadi adalah tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan pertanian (ladang, sawah atau kebun) antar desa. Ditambah kurang kuatnya hubungan antara kelompok masyarakat oleh karena sejarahnya. Sumber konflik lain adalah sumber daya alam yang bernilai tinggi, berupa batu bara, hasil hutan non kayu, seperti sarang burung atau gaharu, dan potensi kayu Laonnya.

Karena mengharapkan keuntungan besar dari pemanfaatan sumber daya alam (misalnya, ganti rugi tanah atau fee) masing-masing pihak berusaha untuk mengubah kesepakatan letak Batas Desa, sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Bisa juga dengan memanfaatkan ketidak tahuan dari desa tetangga.

Seperti Apa Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Misalnya sebuah desa mendaftarkan batas desa nya ke Kabupaten. Mestinya pihak Kabupaten harus terlebih dahulu menanyakan kesepakatan batas dengan desa tetangga kepada Desa yang akan mengajukan batas desanya. Pada kenyataannya sering lupa atau memang pejabatnya “kurang” menguasai persoalan. Dengan demikian batas desa jadi legal tetapi sebenarnya “cacat” secara hukum. Maka konflikpun terjadi.

Solusi untuk permasalahan seperti ini sebenarnya secara teknis tidaklah susah. Sesuai Permendagri No 76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Yang diperlukan adalah adanya Peta Kerja Kartometerik. Peta Kerja dalam metode Kartometrik ini adalah Peta kerja.

Peta yang dapat menghasilkan kenampaan dua serta tiga dimensi terkait wilayah batas Desa. Wilayah yang ditampilkan pada peta kerja tersebut. Dengan kata lain peta kerja ini mampu menghadirkan kondisi lapangan yang sebenarnya secara tiga dimensi di ruang rapat. Sehingga para pihak dengan mudah melihat dan dapat menetapkan batas kesepakatan yang mereka inginkan diatas kertas. Baru kemudian dibawa kelapangan.

Baca Juga  :  Kemiskinan Yang MengInspirasi

Apa sebenarnya Metode kartometrik itu? Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012 metode Kartometrik. Adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran  / peng hitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayahnya.  Hal ini dibantu dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap.

Formula Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Dari pengertian ini. Maka untuk penelusuran, penarikan garis batas, dan pengukuran, perhitungan posisi (koordinat), jarak serta luas cakupan wilayah. Maka harus disiapkan peta kerja. Peta kerja ini dibuat denagan memanfaatkan peta dasar  (peta RBI) sebagai acuan. Dan peta-peta, informasi geospasial lain, seperti citra satelit, landsat, spot dll.,  sebagai pendukung.

Pekerjaan awal yang sangat penting dalam penegasan batas daerah secara kartometrik adalah menyiapkan dan membuat peta kerja. Peta  yang akan digunakan dalam pelacakan  untuk mencapai kesepakatan batas antara daerah yang berbatasan. Peta ini juga digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik batas. Dalam hal peta dasar maka perlu tersedia peta dasar yang memadai, baik dari aspek skala maupun ketelitian dan kebenaran informasi yang terkandung di dalam peta dasar tersebut.

Penyiapan dokumen terdiri atas dokumen yang bersifat yuridis  dan dokumen teknis. Dokumen yuridis  meliputi  peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah yang bersangkutan. Juda dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Dokumen teknis  meliputi peta dasar (peta RBI)  dan informasi geospasial lainnya (citra satelit, peta tematik) yang dijadikan sebagai dasar pembuatan peta kerja yang akan digunakan untuk pelacakan batas.

Peta Kerja Kartometrik Peta Solusi Masalah.

Peta Kerja Kartometrik ini memerlukan perangkat lunak seperti  : ESRI ArcGIS Desktop ; Global Mapper; Google Earth ; Spectral Transformer Tool Sets for Landsat-8 Imagery (GeoSage).

Proses Pengolahan  Citra dilakukan dengan tahapan Pre-processing, processing Citra  dan hingga analisisnya, serta pelacakan diatas peta kerja. Secara sederhana bisa kita tuturkan bahwa pada proses ini terdapat tahapan pre-processing dan prosesing citranya sendiri, dengan langkah langah sebagai berikut; Loading image ;

Citra mentah (raw image) berupa format citra diproses secara digital geoprocessing (image processing), seperti, format bit (16 sd 32 bit), format data (Geotiff, BILL, BSQ dll). Kemudian di koreksi radiometrik citra, process untuk mengurangi efek kesalahan akibat radiometri, seperti haze atmosfer, kesalahan strip data image dll.

Kemudian dilakukan koreksi geometri citra yakni penyesuain sistem koordinat citra terhadap sistem koordinat nasional (WGS 84).  Metode yang dimaksud cukup dengan model image to map register. Yakni dengan peta RBI skala 1 : 5000  sebagai master correction.

Kesepakatan Inti Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Karena diperlukan juga untuk kontrol vertikal (ketinggian), maka dilakukan koreksi citra terhadap data ketinggian. Data ketinggian yang dimaksud cukup menggunakan data SRTM yang memadai. Sehingga output citra final bisa menghasilkan citra yang terkoreksi baik secara horisontal maupun vertikal (Ortho Rectified Imagery).

Pada tahap Processing Citra, adalah prosesing pada citra yang sudah terkoreksi (ORI) dan itu dilakukan dengan tahapan lewat  Cropping image (ROI) sesuai lokasi kegiatan; Overlay data citra dan data kewilayahan; dan Analisis untuk updating segmen batas wilayah berbasis citra. Dalam tahapan pekerjaan prosesing Citra ini, bisa mempergunakan berbagai Software terkait prosesing yang diperlukan.

Software yang dipergunakan adalah software seperti : Global Mapper 11, Argis 10.1, Google earth, Spectral Transformer Tools untuk Landsat-8 Imagery (GeoSage) dll.  Proses data citra didahului dengan melakukan Penggabungan (pembuatan Mosaik) peta RBI untuk seluruh liputan batas Desa yang akan di tegaskan Batasnya. Hal ini dilakukan dengan penyusunan liputan peta sesuai dengan nomor Lembar peta (NLP) yang dibutuhkan sesuai corridor batas.

Tahapan berikutnya adalah melakukan buffering terhadap segmen koridor batas, yang dibutuhkan. Proses buffering dilakukan dengan memanfaatkan software misalnya dengan Argis. Proses ini dilakukan dengan mengikuti pemberian indeks segmen corridor batas. Segmen yang sesuai kode wilayah sebagaimana yang diberikan oleh PPBW-BIG dan sekaligus akan menetapkan jumlah segmen koridor batas. Jumlah ini sesuai dengan ketentuan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang telah ditetapkan. Dari proses buffering ini diperoleh sejumlah segmen koridor batas ( sesuai Peta segmen koridor batas).

Batas Negara Indonesia
Batas Negara Indonesia

Penyelesaian Perselisihan Batas Desa.

Untuk memperkaya atau memperlihatkan lebih jelas keadaan lapangan yang sebenarnya. Maka dilakukan proses pemodelan, baik dalam 2 ataupun 3 dimensi. Pemodelan dilakukan dengan memanfaatkan Citra yang ada. Prosesing ini lebih sederhana karena berbagai data citra yang ada sudah dalam bentuk jadi (matang). Dengan demikian prosesnya lebih sederhana dan lebih cepat.

Secara teknis sebenarnya permasalahan Batas Desa tergolong sangat sederhana, tetapi persoalannya para pihak sudah datang dengan perhitungannya sendiri-sendiri. Masalah Batas yang sebenarnya bisa dengan jelas dapat dilihat pada Peta Kerja di Ruang Rapat serta bisa di cek kebenarannya di lapangan. Tetapi menjadi ruwet karena para pihak sudah terpola pikirannya. Apalagi sudah dapat masukan dari para pendukung yang juga punya kepentingannya masing-masing.

Secara Undang-undang masalahnya juga sudah di atur dengan baik, kuat dan mengikat. Misalnya seperti pada. Permendagri No 76 Tahun 2012 yang pada intinya.  Penyelesaian sengketa atau perselisihan batas bisa dilakukan diatas peta secara Kartometrik.  Permendagri  itu memberikan penekanan secara lebih tegas, dan kuat kepada Pemda Provinsi ( Gubernur) sebagai perpanjangan tangan Mendagri di daerah.

Pedoman Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Revisi tersebut kembali memberi penekanan sesuai amanat penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, yakni :

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.

Baca   Juga   :  Membangun Tim Sukses Pilkada

Bilamana terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya, maka Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Juga ditegaskan jangka waktu dan mekanisme yang lebih jelas.

Secara tegas Permendagri No 76 Tahun 2012 memberikan arah yang jelas pada Penyelesaian Perselisihan oleh Gubernur, yakni terdapat pada Pasal 26 :

  • Gubernur melakukan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dengan mengundang rapat bupati/walikota yang berselisih.
  • Bupati/walikota yang berselisih memaparkan kondisi riil wilayah yang dipermasalahkan dan melakukan pertukaran dokumen dalam rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Kemudian Gubernur membuat berita acara hasil rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Penyelesaian Konflik Batas Desa Sesuai Permendagri N0 76 Tahun 2012.

Untuk mengikat waktu permendagri No 76 tahun 2012 itu mengamanatkannya lagi pada Pasal 27 Yakni:

  • Gubernur mengundang bupati/walikota yang berselisih dalam rapat kedua paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah rapat pertama dalam hal tidak tercapai penyelesaian.
  • Juga Gubernur membuat berita acara hasil rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Diperkuat lagi pada Pasal 28; yakni :

  • Gubernur mengundang bupati/walikota dan Tim PBD Pusat dalam rapat ketiga untuk memfasilitasi penyelesaian perselisihan dalam hal tidak tercapai penyelesaian perselisihan dalam rapat kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
  • Juga Gubernur memutuskan perselisihan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Apabila Gubernur tidak dapat mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur menyerahkan proses selanjutnya kepada Menteri Dalam Negeri.

 Pada Pasal 29 hal itu diperjelas lagi dengan :

  • Hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 bersifat final.
  • Dari Hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk Surat Gubernur.
  • Surat Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bagian dari penyusunan Peraturan Menteri tentang Batas Daerah.

Pada pasal 30 upaya mempercepat penyelesaian tersebut diperkuat lagi. Lihat selengkapnya isi pasal 30 yakni: Dalam hal ada pihak yang tidak hadir dalam rapat dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat, maka pihak yang tidak hadir dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat dianggap telah sepakat.

Di susul oleh Pasal 31, yakni : Gubernur melaporkan hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 kepada Menteri dilampiri dengan berita acara selesainya perselisihan yang ditandatangani oleh bupati/walikota yang berselisih.

Batas Penyelesaian Konflik Batas Desa.

Sebagai kata kunci pengikat waktu dapat dilihat pada Pasal 32. Penyelesaian perselisihan batas daerah antar kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Dilakukan paling lama enam bulan setelah rapat pertama penyelesaian perselisihan dilaksanakan. Tapi memang demikianlah tipikal perseleisihan Batas Desa, tidak berbeda dengan batas-batas lainnya. Susah di kompromikan dan hanya fokus pada kepentingannya sendiri-sendiri

Ketika Tugu Batas Di Geser
Ketika Tugu Batas Di Geser

Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Oleh Harmen Batubara

Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua. Budaya  cari makan secara meramu dan mendulang, menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”, masuk dalam unsur-unsur kebudayaan universal. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, dan berada pada kualitas primitif. 

Belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern yang menggunakan teknologi. Dengan menggunakan penjelasan unsur-unsur kebudayaan univeral dari Koentjaraningrat itu maka masyarakat yang mendiami sepanjang wilayah perbatasan Papua-PNG jika dilihat dari aspek tahapan kemajuan peradaban manusia, masyarakat Papua itu baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Sepertiapa sih Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1]Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papuanilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papuabukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisikeluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagiacara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga.Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnyamenjadi tidak berharga, karena kerabat hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnyatidak ada pendapatan yang tetap dari masyarakat.

Baca Juga : Menjadi Penulis Pro Dengan Memanfaatkan Logika SEO

Bagaimana Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua?

Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.

Untung sekarang  di era Jokowi-JK sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet. Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana dari Free Port dan sejenisnya. Buat pola Transmigrasi; tapi khusus orang lokal.

Cara Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua.

Sediakan lahan @ dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya lain.

Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.

Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya.

Juragan affiliate
Juragan affiliate

Membangunan Warga Perbatasan Berbudaya Papua.

Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48) meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Program kebun rakyat ini, bila bisa dikembangkan diperkampungan warga; tetapi kalau tanahnya tidak terdukung maka dicarikan tanah-tanah di pinggir jalan trans Papua yang panjangnya 4500 km lebih itu. Intinya adalah memberikan dan mentransformasi kehidupan warga Papua dari yang selama ini berupa Peramu dan Pendulang jadi pekebun karet tradisional. Program ini perlu didukung dengan kartu pintar dan kartu sehatnya Jokowi, sehingga anak-anak mereka tetap bisa bersekolah meski kebun mereka belum berhasil.

Dengan menanggung biaya hidup selama satu atau dua tahun diharapkan mereka bisa memadukan usaha kebun karetnya dengan kegiatan lain yang sifatnya masih sebagai peramu dan pendulang. Dengan tenggang waktu satu tahun, mereka diharapkan mampu beradaptasi dan melanjutkan kehidupannya selama tiga tahun ke depannya sampai karetnya bisa di sadap. Kalau ini bisa diwujudkan maka warga Papua akan bisa bertransformasi jadi warga kelas dunia kerja yang tidak lagi hanya sebagai seorang peramu dan pendulang.

Strategi Adaptas Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua.

Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan yang ada saat ini, maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) perbatasan menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerah perbatasan. Berbicara lebih jauh tentang SDM ini, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan dan diberdayakan guna meningkatkan kualitas dari SDM perbatasan itu sendiri.

Pendidikan menjadi pilar utama dan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan. Bahkan, melalui pendidikan, SDM perbatasan diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan competitiveness yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan, di mana di antaranya adalah pengembangan pendidikan yang berorientasi kepada kearifan local yang berlaku, pengembangan pendidikan dengan mengirimkan SDM di wilayah perbatasan untuk belajar di luar daerahnya atau bila perlu ke negeri tetangga. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.

Ubah WebsiteMu Jadi ATM.
Cara Mengubah Web Menjadi Mesin Uang

Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua.

Balada orang Papua  menjadi pendatang baru diatas Tanahnya Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itusendiri. Hampir semua bangsa pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itukita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti ituterjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua.

Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana, setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidakmengakomodir masyarakat asli Papua untuk berjualan di situ. Tidak adamasyarakat asli Papua yang berjualan di situ. Lalu mereka mengatakan bahwa  “mereka menjadi pendatang baru di atastanahnya sendiri”.

Padahal bisa terjadi, awalnya mereka punya toko, merekamemang diberi jatah; tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punyakemampuan; kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya,mereka dapat uang tapi kemudian tersisih. 

Baca Pula : Membangun Blog Bisnis, Jual Kemampuan Membangun Bisnismu   

Sesungguhnya hal seperti ini bukanlah monopoli Papua, di Jawa dan Sumatera atau dimana saja hal seperti ini pernah terjadi. Putra daerah biasanya tidak atau belum mempunyai kemampuan untuk mengelola usaha. Umumnya dahulu istilahnya Ali Baba, maksudnya yang punya atau pemilik adalah orang pribumi atau daerah tetapi yang mengoperasional kannya adalah warga keturunan Tionghoa atau pendatang lainnya.

Membangunan Papua Lewat BudayaNya.

Hal seperti ini terjadi bertahun-tahun dan itu bisa dimana saja dan bila tidak bisa dikelola dengan baik maka ia akan menjadi sumber kecemburuan sosial. Jadi sesungguhnya yang terjadi di Papua ini juga adalah sesuatu yang alami sesuai dinamika perubahan itu sendiri. Hanya saja memang kemudian lalu dibesar-besarkan.

Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan dari Otonomi daerah.  Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan, mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[2] Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya. 

Membangunan Perbatasan Papua Lewat Budayanya. 

Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.

Dikatakannya, Tanah Papua adalah surga yang jatuh di bumi, hitam kulit keriting rambut adalah kebanggaan dan kekuatan kami.  Ini adalah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa untuk kita syukuri dan kita Jaga. Kenapa kehidupan di Papua yang ibarat surga tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat.  Sehingga melemahkan semangat hidup mereka.  Untuk menciptakan kultur yang baru terangkat dari ketidak pedulian mereka. Khususnya menghargai dan menjaga identitas dirinya sebagai masyarakat bangsa dan Negara yang pluralistik ini.

Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan.  Kala itu Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang  diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua.

Semangat Bangkit Mandiri dan Sejahtera. “Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua. Baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat. Demikian juga masyarakat adat serta komponen lainnya untuk selalu bekerja dengan hati. Dengan penuh kerendahan hati serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.


[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.
[2] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.
Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Oleh Harmen Batubara

Warga Papua DiTengah Pembangunan. Pembangunan itu membutuhkan infrastruktur lengkap dengan budayanya, mau tidak mau dia akan menggerakkan kehidupan warga yang ada. Apapun itu adanya. Persoalannya kalau warga itu masih dalam tahapan masyarakat peramu dan pemburu maka yang timbul adalah kehawatiran. Kehawatiran bahwa pembangunan itu justeru hanya akan menyingkirkan warga yang akan dibangun itu.

Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua
Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua

Sesuatu yang sangat rasional. Hal seperti ini akan selalu berulang. Hal seperti itulah yang disampaikan Cahyo Pamungkas saat peluncuran buku Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua secara daring, Jumat (11/9/2020). Buku yang diterbitkan oleh Imparsial, TIFA, Forum Akademisi Papua Damai, dan Parahyangan Centre for Democracy and Peace Studies ini menggarisbawahi pentingnya dialog untuk menjembatani perbedaan persepsi tersebut.

Tidak ada yang baru di sana, kecuali persepsi orang atas ajakannya untuk “berdialog”. Entah apa maksudnya. Pembangunan itu memang pembawa perubahan, dan bagi mereka yang tidak bisa berubah pasti tertinggal dan ditinggalkan. Sepintas memang kejam, tetapi itulah kenyataan. Tidak ada pembangunan yang “TAYLOR MADE” sesuai dengan keadaan warganya, karena pembangunan itu adalah pembawa perubahan terbaru pada zamannya.

Mensejahterakan Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Perubahan zaman ke arah yang lebih rasional sesuai tuntutan zaman. Bagaimanakah pembangunan yang cocok untuk warga tradisional yang masih dalam tahap peramu dan pemburu? Pertama berdayakan warganya, dan teruskan pembangunan infrastrukturnya. Keduanya diserasikan. Sederhana dan tidak perlu mutar-muter.

Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya  cari makan secara meramu, berburu dan mendulang. Menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dan pedalaman Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif.

Dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern. Budaya yang menggunakan teknologi. Masyarakat Papua itu khususnya yang diperbatasan dan pedalaman baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Baca  Juga  :  Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Seperti apa Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1] Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.

Sistem budaya mengkondisikan bapa, ade, ipar, mertua tinggal bersama. Belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga. Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnya menjadi tidak berharga. Karena kerabat, hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnya menjadi tidak mencukupi.

Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga. Tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.

Uang Perlu, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Untung sekarang  di era Jokowi sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja. Misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Membangun warga Papua asli sebenarnya sama maknanya dengan menjadikan warga Papua yang masih hidup dengan pola Meramu dan Berburu (Mendulang) menjadi Petani. Warga di daerah perbatasan, pedalaman dan warga pekerja serabutan di perkotaan. Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan lewat bertani (di pedesaan_ dan punya ketrampilan di perkotaan). Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan.  Misalnya punya kebun karet.

Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet atau kebun Kopi pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana lainnya. Buat pola Transmigrasi.  Tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit.  Berikan obat hama dan juga beri mereka kebutuhan hidup selama satu tahun.

Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah
Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah

Jadi Petani, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Didik mereka agar jadi petani Karet, atau petani Kopi yang baik. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya terlalu rumit dan terlalu jauh.

Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.

Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya. Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48).

Berikan Ketrampilan, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih. Karet yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Atau cobalah ke daerah-daerah penghasil Kopi di Papua, Anda akan tahu bahwa sebagaian warga Papua sudah trampil berkebun Kopi.  Dan punya penghasilan dari sana. Misalnya kopi Baliem[2] atau Kopi Wamena. Jelasnya di Papua  terdapat beberapa daerah  kopi dan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda. Ada juga Kopi Timika yang tersebar di wilayah suku Amungme yakni di daerah Hoea, Tsinga, Utekini, dan Aroanop.  Juga ada Kopi Nabire.

Kopi Nabire lebih banyak tersebar di daerah Paniay dan Deiyai. ada lagi kopi Arfak dan Kebar di Manokwari dan Kopi Kaimana. Kopi berikutnya adalah Kopi Dogiyai, biasanya ditanam di sekeliling lembah Kamuu yang berada di pegunungan Mapia, di Kabupaten Dogiyai. dikenal sebagai biji kopi dogiyai, atau ‘Kopi Moanemani’.  Bisa dibayangkan kalau Pemda mempunyai program kerja yang bisa mempasilitasi agar warga Papua bisa punya kebun Kopi.

Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan. Di pedalaman yang ada saat ini. Maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerahnya khususnya perbatasan dan pedalaman.

Kalau hal itu yang dibicarakan, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan. Pendidikan yang mereka butuhkan, bukanlah pendidikan formal biasa seperti yang sudah kita kenal, tetapi pendidikan yang bisa membarikan mereka Kebun. Bisa membuat mereka kemampuan untuk mengelolanya dan bisa memasarkan hasilnya. Hingga mereka bisa hidup dari karyanya.

Pendidikan seperti itu menjadi pilar utama dengan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan.  Pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan, pedesaan pedalaman. Pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk pembukaan kebun karet, kopi atau Sagu. Seara tuntas sehingga mereka mampu mengelolanya. Dipercaya melalui pendidikan seperti ini, SDM perbatasan, pedesaan pedalaman dapat diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri.

Belajar Hidup, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan kemandirian yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan ini, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan.  Pendidikan yang berorientasi kepada kearifan lokal yang berlaku. Bisa juga dengan mengirimkan SDM ini untuk belajar di luar daerahnya, ke Pemda tetangganya yang sudah lebih maju. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.

Cara Mastah Menulis Konten Berkualitas SEO Friendly
Cara Mastah Menulis Konten Berkualitas SEO Friendly

Baca   Juga   : BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Balada orang Papua  menjadi PENDATANG BARU DIATAS TANAHNYA Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itu sendiri. Hampir semua warga pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itu kita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti itu terjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua. Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana.

Setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidak mengakomodir masyarakat asli Papua. Lalu mereka mengatakan bahwa  “mereka menjadi pendatang baru di atas tanahnya sendiri”. Padahal, awalnya mereka punya toko, mereka memang diberi jatah. Tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punya kemampuan. Kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya. Mereka dapat uang tapi kemudian tersisih.

Perlu Proses,Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Hal lain yang menarik dengan Papua adalah “Budaya Proposal”. Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua[3]. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan. Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan. Mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap ganti kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[4]. Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya.

Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah. Menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.

Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Budaya Proposal ini telah membuat ketergantungan dan pengharapan kepada pemimpinnya dengan cara yang kurang mendidik.  Karena memang tidak lebih dari “memintak belas kasihan”, meminta sumbangan demi kepentingan keluarga dan diri pribadi. Memintak kepada Putra daerah yang jadi Pemimpin mereka. Mereka merasa karena dukungannya maka sang peminpin akan hidup senang dan jadi peminpi mereka. Tentu tidak ada salahnya memintak bantuannya.

Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan. Tapi sang Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang  diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera.

“Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua. Baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat adat serta komponen lainnya. Untuk selalu bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.

 

  • [1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.
  • [2] https://www.omiyago.com/kopi-nusantara/550-omiyago-kopi-papua-baliem-100-gr
  • [3] Disebut Budaya Proposal, biasanya dalam setiap muncul kepeimpinan Baru (Gubernur, Bupati,Walikota) maka banyak warga (yang merasa “dekat” dengannya) mengajukan proposal untuk membangun sesuatu, bisa untuk ternak babi, bisa untuk menyekolahkan anak, bisa untuk memperbaiki rumah dll jumlah proposal itu bisa mencapai 20 ribuan.
  • [4] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.

jadi Youtuber itu Mengasikkan
jadi Youtuber itu Mengasikkan