Oleh Harmen Batubara
Peluangnya Besar, BumDes MangKrak. Membangun kemandirian ekonomi desa menjadi paradigma baru dalam pembangunan kawasan perdesaan. Membangun kemandirian ekonomi bertujuan untuk menjawab persoalan klasik yang ada di desa, yakni masih rendahnya kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut hanya bisa diatasi dengan memutus rantai kemiskinan. Strategi untuk mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dan mengoptimalkan potensi sumber daya desa.
Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan ekonomi lokal yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan mengoptimalkan sumber daya desa. Pembangunan ekonomi lokal dapat diwujudkan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Saat ini BUMDesa menjadi perhatian besar pemerintah sebagai solusi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi desa. Selain sebagai lembaga ekonomi, BUMDesa juga diharapkan menjadi lembaga sosial yang dapat menyediakan pelayanan sosial kepada masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri, pengembangan BUMDesa masih mengalami banyak tantangan. Lalu apa yang melatarbelakangi BUMDesa sulit berkembang?. Secara umum faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam menjalankan kinerja BUMDesa diantaranya motivasi, pendidikan, umur, pengalaman kerja, dan gaya kepemimpinan.
Peluangnya Besar, BumDes Malah MangKrak.
Kenapa sampai ada Desa yang BumDesnya Mangkrak? Apakah salahnya ada pada SDM Desa yang belum punya SDM yang bisa mengelola BumDes? Atau memang Desa itu sangat minim potensinya? Sehingga nggak punya sama sekali sesuatu yang bisa untuk di jual atau ditawarkan ke warganya? Pasalnya, Presiden Jokowi sendiri melihat sendiri setelah mengucurkan dana desa total Rp329,8 triliun dalam kurun lima tahun. Ternyata mendapat laporan masih adanya 2.188 BUMDes mangkrak dan 1.670 BUMDes yang berjalan, tapi belum optimal menggerakkan perekonomian desa.
Berbagai pendapatpun bermunculan, khususnya dari para pemerhati dan para ahli yang selama ini telah ikutan mengawal kiprah pengelolaan BumDes ini. Misalnya Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (FITRA) Misbah Hasan. Dia menekankan bahwa selama lima tahun ini, minimnya kajian atau perencanaan mendalam ketika pembentukan usaha BumDes.
Ini merupakan kelemahan utama yang perlu diperhatikan. “Perintah membuat BUMDes adalah mandatori dari kementerian, sehingga ditafsir oleh dinas pemerintah desa, setiap desa harus dibentuk BUMDes tanpa ada persiapan, perencanaan, dan sebagainya,” ujarnya kepada Bisnis, (22/12/2019).
Baca Juga : BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera
Menurutnya, banyak pendirian BUMDes yang masih sebatas ‘yang penting berdiri’, akibat tanpa business plan yang baik dan orientasinya masih sebatas melengkapi administratif. Akhirnya, kebanyakan BUMDes menerapkan model TOKO RITEL MODERN atau MINIMARKET. Padahal, “hal ini justru berpotensi membunuh perekonomian desa, karena produk-produk lokal desa tidak ikut dipasarkan,” tambahnya.
Kurang Innovasi atau Masih Gagap.
Belum lagi apabila BUMDes yang dibentuk hanya menerapkan model koperasi simpan pinjam. Tata kelola yang belum baik dari pengurus ditambah belum siapnya tingkat literasi masyarakat sekitar. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah seperti kredit macet, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Misbah menyarankan adanya pengawasan dan pendampingan intensif terhadap BUMDes dari pihak otoritas yang lebih tinggi, misalnya pemerintah provinsi atau pemerintah pusat.
Ada juga yang melihat dari segi Kelembagaan BumDes itu sendiri. Mereka[1] menilai Pendapat Menteri Desa mengatakan bahwa BUMDes itu perlu melakukan holding. Sesungguhnya tidak bisa membentuk holding. Karena BUMDes sendiri belum mendirikan unit usaha berbadan hukum sebagaimana mestinya. Misalnya seperti yang diamanatkan dalam Permendes No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Baca Juga : RoadMap IKN 2045 : Investor Oversubscribe
Menurut mereka BUMDes perlu bertransformasi untuk melembagakan dirinya menjadi badan usaha resmi berkekuatan hukum bisnis. Hal ini untuk memudahkan melaksanakan transaksi usahanya secara profesional. Harus segera tinggalkan cara konvensional demi meningkatkan proses dan progresnya menjadi kekuatan ekonomi desa.
Maka jangan heran bila BUMDes pada umumnya mangkrak karena memang tidak dibina atau tidak didampingi oleh tenaga profesional dalam menjalankan roda usaha BUMDes dan termasuk dalam membentuk unit usaha berbadan hukum sesuai amanat regulasinya.
Mengelola BumDes Dengan Semangat WiraUsaha.
BUMDes harus membuka ruang investasi atau penyertaan modal pada usahanya, baik untuk investor guna ikut masuk ke dalam lembaga BUMDes maupun terhadap peningkatan bidang usahanya. Salah satu strateginya adalah mereformasi kelembagaannya terlebih dahulu. Usulan tranformasi BUMDes untuk di pertimbangkan oleh pemerintah dan pemda agar bisa bergerak dalam menggali potensi desa yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
Pertama: BUMDes dilembagakan menjadi koperasi multi pihak atau multi stakeholder cooperative. Termasuk dalam pembentukan atau pendirian BUMDes. Jadi bukan lagi ditetapkan dengan Peraturan Desa, tapi melalui Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK). Kemudian dilegalisir oleh Kementerian Hukum dan HAM. Struktur kepemilikan BUMDes adalah pemerintah desa sebagai representasi publik (suara 50-60%). Diikuti oleh masyarakat desa berbasis KTP dan KK setempat sebagai representasi people (suara 20-30%). Kemudian kelompok investor atau sponsorship sebagai representasi private (suara 10-20%).
Baca Pula : BumDes Jaya Indonesia Sejahtera
BUMDes akan menjadi lebih efektif karena masing-masing pihak secara alamiah menghendaki atas nilai terbaik bagi kepentingannya. Juga makin transparan karena masing-masing pihak membutuhkan informasi yang cukup agar dapat mengendalikannya. Efek keberlanjutannya, adalah mencegah penyalahgunaan wewenang oleh elit desa (elite captured).
Kedua: Permendes No. 4 Tahun 2015 pasal 8 yang menyebut BUMDes dapat membentuk unit usaha berupa Perseroan Terbatas (PT) dan/atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Selanjutnya direvisi atau ditambahkan pilihan kelembagaan yaitu BUMDes dapat membentuk primer koperasi (multi stakeholder cooperative).
Maksud dari revisi Permendes tersebut untuk menghilangkan kekakuan atau memberi kesempatan adanya alternatif pilihan. Karena pada Permendes No. 4 Tahun 2015 tidak mengafirmasi badan hukum koperasi. Namun lebih penting dan terkondisi sebagai usaha menambah kesejahteraan masyarakat desa. Pilihan terbaik adalah BUMDes bertransformasi menjadi primer koperasi yang berbasis multipihak.
Tetapi kalau kita berkaca pada beberapa BumDes yang telah berhasil maka yang terlihat benang merahnya adalah di Desa tersebut ada SDM yang mengetahui permasalahan Ekonomi di Desanya. SDM Desa itu mengetahui apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan termasuk solusi atau pemecahaannya. Maka mereka dirikanlah BumDes dan itu berhasil.
Potensi Besar BumDes Mangkrak.
Secara empirik Desa jadi menarik didiskusikan karena dua misteri modal sosial di Indonesia yang sungguh berbeda dengan keyakinan teoritik. Pertama, desa-desa di Indonesia sebe¬narnya sangat kaya modal sosial tetapi juga rentan secara sosial.
Di satu sisi masyarakat desa sudah lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat, sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama “otonomi asli” desa.
Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa. Semangat swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi. Di luar swadaya dan gotong-royong, masyarakat desa mempunyai tradisi tolong-menolong, bahu-membahu dan saling membantu antarsesama. Terlebih lagi ketika terjadi musibah yang mereka lihat secara dekat.
Tetapi di balik ikatan sosial dan solidaritas sosial yang menyenangkan itu. Masyarakat desa sering menghadapi berbagai kerentanan sosial (social vulnerability) yang menyedihkan. Bahkan bisa melumpuhkan ketahanan sosial (social security) mereka. Ketahanan sosial masyarakat desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari regulasi dan kebijakan pemerintah.
Perlu Semngat Kerja Sama.
Belum lagi dengan proyek pembangunan, wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi. Bahkan bantuan dari pemerintah seperti BLT kompensasi BBM juga memunculkan kerawanan sosial dalam masyarakat, misalnya dalam bentuk pertikaian antara warga dan aparat setempat.
Kedua, desa kaya modal sosial tetapi tidak kaya modal ekonomi. Dengan kalimat lain, modal sosial itu tidak mengalami transformasi menjadi modal ekonomi. Studi Edward Miguel, Paul Gertler, dan David I. Levine (2005) di 274 daerah industri di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa modal sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan industri. Karena itu, wajar jika Prof. Robert Lawang, pernah mengajukan pertanyaan: mengapa modal sosial yang kaya tidak menghasilkan modal ekonomi? Bagaimana dan dimana letak missink link antara modal sosial dan modal ekonomi?
Peluangnya Besar, BumDes Berhasil.
Mari kita lihat keberhasilan BumDes Tirta Mandiri Pongok Klaten Jawa Tengah.Banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi dalam membangun eonomi berbasis komunitas di desa. Betapa tidak. Padahal, pada tahun 2001 Desa Ponggok justru masuk dalam daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT). Letak geografis di dataran rendah lereng Merapi, sebenarnya membuat Ponggok kaya dengan sumber mata air.
Hal ini seperti umbul Ponggok, Besuki, Kajen, Kapilaler, dan Sigedang. Tapi hal tersebut kala itu tak cukup membuat Ponggok sejahtera. Kemudian perubahan itupun mulai datang dengan lahirnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan nama Tirta Mandiri, yang merupakan sebuah usaha yang digagas di bidang kepariwisataan.
Awal terbentuknya BUMDes Tirta Mandiri Unit Usaha yang dikelola baru berupa TOKO PAKAN IKAN dan KOPERASI SIMPAN PINJAMAN Modal Bagi Masyarakat. Selain itu pengelolaan air bersih serta merintis kegiatan pariwisata. Umbul Ponggok mencoba usahanya sebagai wahana rekreasi. Di awal berdirinya BumDes ini hanya memiliki 3 orang karyawan, sekarang karyawan sudah lebih dari 80 orang yang seluruhnya berasal dari masyarakat desa setempat.
“Dengan gaji diatas UMR kabupaten (UMR Kabupaten Klaten Rp 1.527.500). Artinya di satu desa ga perlu lagi harus berbondong bondong ke kota, di sini sendiri kita sudah bisa memberi penghidupan yang layak. Begitu selalu yang pengurus katakan. Jika pada 2012 pendapatan kotor BUMDes Tirta Mandiri sekitar Rp 150 juta. Setahun kemudian meningkat menjadi Rp 600 juta. Kemudian 2014 melonjak Rp 1,1 miliar. Pada 2015 melebihi target yang ditentukan Rp 3,8 miliar menjadi Rp 6,1 miliar. Tahun 2016 dengan pimpinan BUMDes yang baru, target Rp 9 miliar terealisasi Rp 10,3 miliar.
[1] H.Asrul Hoesein. https://www.kompasiana.com/hasrulhoesein/5e196736d541df5b4f04e542/hindari-mangkrak-bumdes-harus-segera-transformasi-kelembagaan-koperasi?page=all