Kopi Lungun Naso RasaSa

Kopi Lungun Naso RasaSa

Oleh Harmen Batubara

Kopi lungun Naso Rasasa. Kopi yang mengingatkan kita pada Mandheling atau Mandailing sudah dikenal orang Eropa dan Amerika sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya sejak zaman Belanda Tahun 1833. Sebagai warga Mandailing kita sering bertanya dalam hati. Seperti apa sih Topnya Kopi Mandheling ini?

Sebagai gambaran bisa jadi hal itu bisa kita lihat dari Perhelatan Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo ke-28  di Georgia World Congress Center, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), 14-17 April 2016. Sebuah perhelatan Kopi Dunia yang menarik dan mengasikkan. Asosiasi kopi spesial terbesar Kopi dunia.

Terlebih dalam ajang tahunan tersebut Indonesia terpilih menjadi PORTRAIT COUNTRY. Portrait country merupakan penghargaan dari SCAA kepada negara penghasil kopi-kopi terbaik. Dengan menjadi portrait country, sebuah negara mendapat panggung dan perhatian khusus dalam ajang yang menjadi barometer industri kopi spesial itu.

Kopi Lungun Naso Rasasa Masa Lalu.

“Dunia sudah lama menikmati kopi-kopi terbaik dari Indonesia. Ini saatnya kami mengapresiasi Anda. Berterima kasih kepada para petani hingga pelaku industri di dalamnya,” kata Bill Carney, tentu termasuk Kopi Mandailing. Direktur Eksekutif SCAA.

Baca Juga : Youtuber Pemula Itu Sungguh Mengasikkan

Selain pameran kopi spesial, SCAA juga menjadi tempat pameran dan transaksi teknologi pemrosesan dan penyajian kopi terkini. SCAA dihadiri sekitar 12.000 orang dari lebih kurang 75 negara. Di antara negara-negara itu, nama Indonesia bergaung di setiap penjuru sejak awal pembukaan, Kamis (14/4/ 2016)  malam.

Pada seremoni pembukaan, video testimoni orang-orang berpengaruh di dunia kopi tentang cita rasa kopi Indonesia ditayangkan di depan ribuan peserta. Selain Erna Knutsen, Presiden Direktur Royal Coffee AS Bob Fulmer juga menuturkan, Indonesia telah membantu manusia menemukan keindahan cita rasa dari sebuah tanaman tropis.

“Dear Indonesia, thank you for your coffee (Indonesia, terima kasih untuk kopi Anda),” ucapnya. Kopi Mandailing memang Top, tetapi bagaimana dengan Madina? Tempat Kopi itu tumbuh dan dikembangkan?

Kopi Daerah Perbatasan.

Madina dengan Ibu Kotanya Panyabungan kini sudah jadi daerah potensil dan cukup seksi untuk dikembangkan menjadi wilayah yang mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Madina atau  Mandailing  mempunyai sejarah panjang dalam pengembangan wila yahnya. Pemerintah Hindia Belanda mulai memasuki wilayah  Mandailing Natal tahun 1824 dan membentuk pemerintahan dibawah Karesidenan Air Bangis bagian dari Gouvernment Sumatra’s Westkust.

Tahun 1834 ibu kota pemerintahan Mandailing pindah dan berada di bawah Karesidenan Tapanuli. Tahun 1852, Wilayah Mandailing Natal dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu[1]:  Afdeling Mandai ling terdiri dari Groot Mandailing, Klein Mandai ling, Ulu dan Pakantan dan Batang Natal. Afdeling Natal terdiri dari Distrik Natal, Sinunukan, Partilo ban, Kara-kara, Teloh Baleh, Tabuyung, Singku ang, Batu Mondan dan Batahan.

Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk salah satu Kecamatan dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Na tal berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.

wilayah Mandailing Madida
Daerah Kopi Lungun NasoRasasa

Sejak awal Lemah Dalam Insfrastruktur.

Pada masa itu Belanda belum bisa memasuki wilayah Mandailing. Belanda masih mencoba merebut Bonjol, Bonjol kala itu masih berstatus  DOM[2].  Ini mengindi kasikan bahwa penguasaan wilayah dengan pengerahan militer yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Harus ada biaya yang bisa diambil dari daerah taklukan.

Karena itu, selagi masa perang dan melakukan pertempuran, produksi beras lokal pun dimanfaatkan untuk menghasilkan uang. Terlebih lagi waktu itu beras masih melimpah dan dikirim ke Jawa. Belanda betul-betul memanfaatkan potensi daeah untuk membantu kepentingannya.

Militer Belanda pertamakali mendarat di Natal 1833. Membangun benteng Eluot di Panjaboengan, tepatnya di Natal pada tahun 1834. Setelah menguasai Mandailing Belanda membangun benteng di Rao 1834. Sementara benteng Bonjol masih eksis. Pada tahun 1837 benteng Bonjol dikuasai kemudian lanskap Mandheling, Ankola dan Sipirok juga sepenuhnya dikuasai.

Selama fase invasi ke Bonjol, otoritas sipil di Mandailing berkedudukan di Kotanopan dipimpin oleh Francois Bonnet. Paska Bonjol, selanjutnya militer Belanda mengalihkan perhatian ke Padang Lawas. Untuk memperkuat pertahanan pasukan Belanda dibangun benteng di Pijor Koling (1837), untuk lebih meningkatkan fungsi pos militer sebelumnya di Sayurmatinggi.

Daerah Kopi Lungun Naso Rasasa. 

Karenanya, lanskap Mandailing (groot dan klein) menjadi sangat terjaga keamanannya, sebab ada tiga benteng: di tengah lanskap Mandailing, masih ada benteng Fort Eluot di Panjaboengan, di selatan Mandailing di Rao dan di utara Mandailing di Pijor Koling. Kedua benteng di sisi luar Mandailing ini masih aktif, hingga ekonomi kopi dimulai dan pemerintahan sipil diselenggarakan di Mandheling dan Ankola.

Pembangunan Infrastruktur bagi Pengembangan Mandailing dari sananya memang lemah tapi realistis. Pemerintah Belanda bisa disebut sangat realistis dalam berbagai tindakannya. Mandailing yang tadinya sudah menjadi lumbung beras dan punya komoditi Kopi terbaik pada masanya, justeru itu yang terus dioptimalkan untuk kepentinganya.

Dalam hal pembangunan infrastruktur mereka lebih fokus pada pengembangan sarana jalan yang sudah ada yakni Jalan Poros Kotanopan-Sibolga. Jalan ini merupakan bagian dari Jalan-Padang-Bukit Tinggi-Lubuk Sikaping-Panti-Rao-dan Kotanopan. Saya pernah punya Buku Partiang Latong[3] karya anak Panyabungan.

Sayang kini entah sudah dimana tetapi buku itu dengan jelas melukiskan bagaimana dinamika jadi Kernet Pedati yang ditarik kerbau, sebagai tulung punggung transpotasi dari Panyabungan ke Sibolga. Pada waktu itu seluruh komditas Pemerintah Belanda diangkut (via lelang) melaui transporasi Kuda beban dan Pedati.

Sederhana Tapi Cerdas.

Pembangunan jalan di masa Aisten Residen A.P. Godon[4] sesungguhnya sudah terlaksana antara Panyabungan dan Natal. Pembangunan jalan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari koffij-cultuure. Budaya Kopi.  Belanda memandang Tapanuli tidak hanya Mandheling, karena itu harus ada jalan  yang menghubungkan satu sama lain  (Sipirok, Padang Lawas dan Silindung/Toba) sebagai rencana keseluruhan  yang belum tersentuh sama sekali.

Saat itu, pembangunan jalan poros begitu penting, selain sudah ada jalan arteri Natal-Panyabungan, jalan poros antara Kotanopan dan Sibolga akan menyatukan semua jalan-jalan arteri di seluruh Tapanuli. Untuk efektivitas pemerintahan dan perdagangan, jalan poros ini juga dengan sendirinya menghubungkan dua asisten residen yang ada.

Baca Juga : Buat BisnisMu Raih PeluangMu.

Asisten Residen Tapanuli di Sibolga, dan Asisten Residen Mandheling en Ankola di Kotanopan. Jalan poros ruas Tapanuli ini sesungguhnya bagian dari jalan poros Sumatra’s Westkust darri Padang ke Fort de Kock, lalu Kotanopan, Padang Sidempoean dan Sibolga.

Pada zaman Belanda  pelabuhan Padang-Natal- dan Sibolga sudah jadi semacam “pintu barat” yang jadi penghubung ekspor ke manca Negara khususnya Eropa, India dan Timur Tengah khususnya untuk komoditi jenis Kopii dan kayu gaharu.

Kopi Lungun Naso RasaSa
Koridor Mp3ei Sumatera dalam strategi Pembangunan Indonesia

Era MP3EI Belum Juga Terjangkau.

Kalau kita berkaca pada MP3EI maka sesungguhnya, Madina masih juga belum terjangkau. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan Infrastruktur di Koridor Ekonomi Sumatera: Koridor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional” yang dalam detailnya Madina masih belum dapat bagian.

Untunglah para elit Politik di Madina bisa melobi munculnya KEK Batahan  yang melalui Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), menjadikan KEK ini salah satu pilar pembangunan ekonomi Madina ke depan yang fokus membangun kawasan industri dengan pola public private Parthnership (PPP), yaitu kesatuan pemerintah dan swasta membangun kawasan industri dan infrasruktur pendukung untuk memacu pertumbuhan potensi kawasan.

Kecuali KEK Batahan juga Lapangan Terbang Malintang. Kedua infrastruktur ini dipadukan dengan berbagai jalan Kabupaten yang bakal dibangun akan mampu menjadikan Pusat-pusat Pariwisata alam Madina untuk kian berkembang.

Kopi Lungun Naso Rasasa.Masihkah Ada?

Kita dapat melihat bahwa Madina terus berupaya untuk berbuat sesuatu bagi para penggiat Kopi, meski terbatas, sarana jalan terus dibangun misalnya dari desa Pagur ke Desa Padang Lawas. Madina juga sudah mempunyai partner dengan PT Kopi Rakyat Indonesia untuk bekerja sama mengembangkan lahan Kopi bersama rakyat; juga sudah ada rumah produksi Kopi dari BI, sudah didirikan Sekolah Kopi.

Juga sudah ada   Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Mandailing (MPIG) sebagai pemilik Hak Paten Indikasi Geografis Kopi Arabika Mandheling dan sekaligus jadi kawan dalam meningkatkan kualitas kopi di tingkat petani, baik dari sisi hulu maupun hilir atau mulai dari budidaya hingga paska panen agar sesuai dengan standar kualitas pasar internasional.

Begitu juga dalam membangun kerjasama dalam  melakukan negosiasi dengan produsen-produsen yang selama ini memakai nama Mandailing. Mereka yang selama ini mengharumkan nama Kopi Mandheling, semua itu semoga akan membuat para penggiat Kopi Mandheling jadi lebih solid dan lebih bekerja sama untuk kemakmuran bersama.

Bisnis Kopi Bisnis Yang Menarik

Bisnis Kopi adalah bisnis yang menarik dan menjanjikan bagi yang memang senang dengan Kopi, tetapi yang lebih menarik bagi kalangan per Kopian di Indonesia adalah bagaimana agar Kopi yang sudah banyak di kenal warga Dunia ini bisa jadi ladang penghasilan. Idenya adalah bagaimana agar Kopi ini jadi bisnis yang menarik.

Itu artinya akan lahir kelak pusat-pusat kebun Kopi yang lengkap dengan dukungannya. Kebun-kebun Kopi yang punya sarana jalan untuk menjangkaunya. Jadi siapapun ia, mereka bisa berkebun Kopi dengan mudah.

Kita ingin melihat munculnya peran Pemda, peran Perguruan Tinggi/ Sekolah, peran Koperasi, peran Rumah Produksi dan bahkan peran para konsultan Kopi. Peran para Kolaborator yang bisa menghadirkan bisnis Kopi yang menguntungkan bagi semua pihak.

Mari kita lihat bisnis Kopi dari kedai Kopi Starbucks (AS), Costa Coffee (UK) dan Luckin Coffee (China). Starbucks Corporation[1] adalah sebuah perusahaan kopi dan jaringan kedai kopi global asal Amerika Serikat yang berkantor pusat di Seattle, Washington.

Starbucks adalah perusahaan kedai kopi terbesar di dunia,dengan 20.336 kedai di 61 negara, termasuk 13.123 di Amerika Serikat, 1.299 di Kanada, 977 di Jepang, 793 di Britania Raya, 732 di Cina, 473 di Korea Selatan, 363 di Meksiko, 282 di Taiwan, 204 di Filipina, 164 di Thailand dan 326 di Indonesia.

Bisnis Dengan Pola Lokal.

Perusahaan ini juga menjual minuman panas dan dingin, biji kopi, salad, sandwich panas dan dingin, kue kering manis, camilan, dan barang-barang seperti gelas dan tumbler. Melalui divisi Starbucks Entertainment dan merek Hear Music.  Perusahaan ini juga memasarkan buku, musik, dan film. Banyak di antara produk perusahaan yang bersifat musiman atau spesifik terhadap daerah tempat kedai berdiri. Es krim dan kopi Starbucks juga dijual di toko grosir.

Tetapi yang sering orang lupa adalah bahwa ide pendirian starbucks ini sesungguhnya adalah ide tiga guru sekawan. Maksudnya mereka tertarik mendirikan Kedai Kopi ini bukanlah oleh sebuah impian yang besar, dan bukan juga karena mereka mempunyai biji kopi yang berkualitas. Sama sekali jauh dari itu.

Sebagai guru yang sama-sama penikmat kopi mereka jadi terinpirasi membangun Kedai Kopi yah karena mereka melihat teman mereka yang berbisnis menjual Biji Kopi Panggang “roast” dan laris manis. Kenapa kita tidak coba berbisnis serupa?  Barulah pada tahun 1987, para pemilik asli menjual Starbucks ke Howard Schultz.

Bisnis Kopi Yang Menggurita

Pada tahun itu pula, Starbucks membuka kedai pertamanya di luar Seattle di Waterfront Station, Vancouver, British Columbia, dan Chicago, Illinois. Jaringan Kopi terbesar kedua adalah Costa Coffee, Kedai ini didirikan di London pada tahun 1971 oleh dua Bruder Bruno dan Sergio Costa sebagai operasi grosir yang memasok kopi panggang ke katering dan spesialis toko kopi Italia.

Seperti Starbucks kemudian dibeli oleh Whitbread pada tahun 1995, kemudian dijual pada tahun 2019 kepada perusahaan Coca-Cola, dan Kedai ini terus berkembang menjadi 3.401 toko di 31 negara dan 18.412 karyawan. Bisnis ini memiliki 2.121 restoran di Inggris, lebih dari 6.000 fasilitas penjual Costa Express dan 1.280 outlet di luar negeri (460 di Cina).

Apa yang ingin kita katakan adalah; kedai Kopi yang diawalnya adalah sebuah usaha “suka-suka” tetapi kemudian jatuh ke tangan pebisnis maka jadilah ia jaringan bisnis yang memberikan keuntungan besar bagi para pemiliknya.

Baca Juga : Google Ads: Buat IklanMu Lebih Moncer 

Kini muncul LucIn Coffee dari China, Luckin Coffee Inc. adalah rangkaian Kedai kopi Cina. Perusahaan ini didirikan di Beijing pada 2017. Pada Januari 2020, ia mengelola 4.507 toko dan melebihi jumlah toko Starbucks di Cina. Sebagian besar tokonya adalah di area lokasi “penjemputan” di gedung perkantoran  atau kampus yang melayani secara online.

LuckIn Coffee sejak awal didirikan sudah dengan pola starUp, buatkan model Kedainya dan tawarkan ke pasar begitu pasar menerimanya atau mengapresiai kelahirannya maka mereka langsung meng “ScaleUp” nya besar-besaran.

Kopi Lungun Naso RasaSa
YouTuber Pemula YouTuber Itu Mengasikkan

Kopi Takar Lungun NasoRasasa.

Kopi Mandailing juga sedikit banyak juga sudah berusaha untuk tetap menjaga Popularitasnya. Misalnya dari Pemda Madina sendiri jauh jauh hari sudah mencoba untuk mengusung nama Kopi Mandailing ke panggung Dunia. Ya mereka mendirikan Lopo Takar Mandheling Coffee[1] Berdiri di Ubud. Bali.

Ya kegiatan ini di inisiasi Dewan Riset Daerah Kabupaten Mandailing Natal. Idenya juga sederhana yakni memperkenalkan bubuk kopi Mandailing di ranah internasional. Kedai itu bernama “Lopo Takar Mandhelling Coffee Tasty”. Pendirian Kedai Kopi ini bekerja sama dengan pengusaha Bali, yakni Wawan Akil (12/1/2014)

Pada kesempatan Peluncurannya banyak dihadiri wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri, bahkan bintang-bintang film Hollywood diantaranya Julia Robert. Juga ada Cristine Hakim,” kata Ketua Dewan Riset Daerah Kabupaten Mandailing Natal, H. Syahrir Nasution, kepada wartawan,13/1/2014.

Kalau mau mencari tahu Kedai Kopi Mandailing ya cobalah  di RM Pondok Paranginan. Sesuai namanya, takar dalam bahasa daerah Mandailing Natal artinya batok kelapa. Kopi Takar disajikan dengan cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Batok dengan ciri uniknya. Perpaduan potongan kayu manis dan gula aren dalam kopi.

Kayu manis ini bisa juga digunakan sebagai sendok sekaligus sedotan.  Selain menambah kesan unik pada tampilan. Kayu manis juga memperkaya cita rasa pada kopi ini. Aroma kayu manis ini  kental terasa di hidung dan lidah sehingga menambah kenikmatan.

Dalam hal peracikannya   relatif sama dengan kopi pada umumnya, yakni diseduh dengan air panas atau mendidih. Yang membedakan itu rasanya. Rasa dan aroma kayu manis gula aren jadi ciri khas. Meski unik dan terkesan eksklusif, kopi ini dijual dengan harga yang relatif murah. Yakni Rp 10 ribu per cangkir.  Para pelanggannya senang.  Rasa kayu manis dan gula arennya membuatnya beda.

Warung Kopi Lungun Naso Rasasa.

Kalau mau mencoba rasa Kopi Mandailing lainnya mungkin anda bisa ke  Lopo Mandheling Coffee, suasanya dengan dikelilingi sawah maka view suasana sawah pedesaan akan memanjakan mata anda. Kedai Kopi ini memang mnyuguhkan Kopi Khusus (speciality) Mandailing.

Kopinya mereka beli dari petani kopi desa Ulu Pungkut, Sopotinjak, Pagur, Pagar Gunung dan Simpang Banyak sebuah dataran tinggi di Mandailing Natal yang memang sudah lama dikenal dengan daerah penghasilan kopi dengan kwalitas baik.

Kedai kopi yang diberinama Lopo Mandheling Coffee ini berdiri sejak tahun 2014 didesain semi modern minimalis dengan sebuah bar tunggal ditengah bangunan sejenis ruko dengan menambah tempat duduk disamping sebidang sawah, dengan menyajikan berbagai penganan dan minuman lainnya.

Menurut para pencinta Kedai Kopi ini yang menarik adalah seduhan hangatnya kopi mandailing, terasa enak terutama bila diminum tanpa gula.Ada beberapa olahan kopi yang di buat di Lopo Mandheling Coffee  ini dan itu bergantung permintaan tamu, misalnya kopi tubruk, saring, espresso, cafelatte, cappucino, sanger kopi mandailing dan semua bergantung permintaan.

Kopi Takar Mandailing, Lungun NasoRasasa
Kopi Takar Mandailing, Lungun NasoRasasa
  • [1] coba juga https://madina.go.id/kafe-lopo-takar-mandhelling-coffee-tasty-berdiri-di-daerah-wisata-ubud-bali/
  • [1]  lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Starbucks
  • [1]  periksa https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mandailing_Natal
  • [2] kunjungi http://akhirmh.blogspot.com/2014/08/bag-1-sejarah-mandailing-pemerintahan.html#more
  • [3]  Buku itu dengan jelas menceritakana kisah pelaku transportasi utama yakni Pedati yang mengangkut Kopi dan barang dagangan lainnya dari Panyabungan ke Sibolga serta episode penyeberangan di Sungai Batang Akola di Sayurmatinggi saat itu belum ada Jembatan.
  • [4] lihat  http://akhirmh.blogspot.com/2014/09/bag-3-sejarah-mandailing-koffij-stelsel.html#more
Kopi Mandheling NasoRa Sasa.

Kopi Mandheling NasoRa Sasa.

Oleh   Harmen Batubara

Kopi Mandheling NasoRa Sasa. Gembira rasanya ketika melihat Kopinta. Kopi yang termasuk yang dipilih oleh  Kemenparekraf  dari 300 brand untuk ikut memeriahkan ajang MotoGP Mandalika 2022. Dari 300 brand tersebut, ceritanya 100 brand berasal dari Nusa Tenggara Barat. 200 brand lainnya menyebar dari seluruh daerah Kopi di Indonesia. KOPINTA Mandheling Coffee pastilah merasa sangat berbangga hati bisa menjadi 1 dari 200 brand tersebut. Saya juga merasakan hal yang sama. Rasa rindu Ngopi jadi kambuh. Ternyata Cerita Kopi Madina justeru jauh lebih menarik lagi.

Artikel Marketing, Lebih Kuat Dari Iklan.
Artikel Marketing, Lebih Kuat Dari Iklan.

Ekspor Kopi Indonesia sebetulnya cenderung meningkat, permasalahannya justeru produksi Kopi Indonesianya yang kian langka. Pada periode Januari–Juli 2021, ekspor kopi Indonesia mencapai USD 400,96 juta, dengan pangsa pasar terbesar ke Amerika Serikat (24%), Mesir (11%), Jepang (9%), Malaysia (7%), dan Italia (6%). Sementara pada tahun 2020, Indonesia tercatat sebagai pengekspor kopi nomor sembilan dunia, di bawah Brasil, Swiss, Jerman, Kolombia, Vietnam, Italia, Prancis, dan Honduras.

Kopi kita masih kalah dalam hal produktivitas, dan terbatasnya infrastruktur pendukung perkebunan Kopi di Negara kita. Kita senang melihat trend peningkatan ekspor misalnya Kopi Aceh. Tercatat tujuan ekspor kopi Aceh paling banyak ke Amerika. Tahun 2020 lalu nilai eskpor kopi dari Aceh  mencapai 22,9 juta dolar AS, kemudian Belgia senilai 9,137 juta dollar Amerika dan ketiga Kanada 3,166 juta dollar AS.

Madina Dan Kopi Mandheling NasoRa Sasa.

Untuk tahun 2021 ini, tujuan ekspor kopi dari Aceh terbesar masih Amerika. Pada Juni 2021 lalu nilai ekspor kopi ke Amerika mencapai 3,541 juta dollar, Belgia senilai 596.928 dollar AS dan Kanada senilai 176.880 dollar AS. Total nilai ekspor kopi pada bulan Juni berkisar 6,7 juta dollar AS, meningkat dibandingkan bulan Mei hanya 4,1 juta dollar AS.

Begitu juga ke Mesir. Selama pandemi di tahun 2020, permintaan ekspor kopi ke Mesir justru mengalami peningkatan sebanyak 21 persen dibandingkan sebelum pandemi. Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, Indonesia merupakan negara pengekspor nomor satu biji kopi ke Mesir dengan nilai ekspor sebesar USD12,62 juta.

Nilai ini bertambah 21,75 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD10,36 juta. Kopi Indonesia digemari masyarakat Mesir. Sekitar 62 persen pasar kopi Mesir dikuasai oleh kopi Indonesia. Jenis kopi robusta menjadi yang paling favorit.

Kopi Berkah Kopi Mandheling NasoRa Sasa.

Secara sederhana kita bisa melihat bagaimana kehidupan Petani Kopi di Mandailing. Kopi yang selama ini sudah terkenal, kopi Mandheling kopi yang enak.  Gurih rasanya, dan harum baunya. Sederhananya, Kopi Mandailing atau Mandheling sudah ke sohor ke seluruh Dunia. Nilainya sungguh tidak terkira. Yang terpikirkan kini adalah bagaimana agar nama yang sudah baik tersebut bisa tetap lebih baik lagi, minimal bisa dipertahankan.

Baca  Juga  :  Kopi Takar Mandailing, Lungun Naso RasaSa

Lalu aku ingat. Ketika masih SMP di Kotanopan tahun 70 awal, Tulangku (sopir Truk) mengajak aku ke Siantar. Karena muatannya dari Sorik Marapi kami mampir ke sana. Bere ingat ini Ya, begitu beliau menarik dan memberdirikanku di atas batu. Bere inilah yang disebut Tor Pangolat. Hamparan yang didepan adalah pemandangan indah lembah Mandailing Godang yang luas dan subur hinga ke dataran tinggi Padasidempuan.

Tempat Kopi terbaik dunia tumbuh, tempat rawa godang sebagai hasil persahabatan Sungai Batang Gadis dan Sungai Batang Angkola. Kalau kedua potensi ini kelak bisa kau kembangkan wilayah ini akan makmur.  Orang Belanda mengatakan Tor Pangolat itu sebagai hemelspoort  yang artinya PINTU SORGA. Kala itu aku sama sekali nggak “ngeh” anggak ngerti maksud tulangku itu. Tetapi 50 tahun kemudian, Alangkah besarnya potensi wilayah ini. Tapi bagaimana mengolahnya?

Madina Perlu Membangun Potensi Kopinya.

Membangun Madina jelas tidaklah sesederhana itu. Pembangunan suatu wilayah  memerlukan kerja sama semua pemilik nama tanah Mandailing, ya tanah Mandailing Natal. Kita juga tahu bahwa para pekebun Kopi di wilayah Mandailing atau berbagai Kopi di wilayah Indonesia lainnya. Ragamnya banyak seperti yang mewakili nama Kopi khusus atau SPECIALITY Gunung Puntang, Mekar Wangi, Manggarai, Malabar Honey.

Tidak hanya sampai disitu masih ada Atu Lintang, Toraja Sapan, Gayo Organik, Java Cibeber, West Java Pasundan Honey, Arabica Toraja, Flores Golewa, Redelong, Preanger Weninggalih, Flores Ende Dll. Daerah penghasil Kopi yang umumnya belum sepenuhnya bisa menikmati hasil jerih payahnya. Semua juga paham dan semua juga mengerti, bahwa para petani Kopi di wilayah Madina masih jauh dari dukungan sarana dan prasarananya.

Umumnya kebun Kopi jauh dari Desa atau Kampung, tidak ada jalan besar bahkan jalan kecil ke lokasi Kebun Kopi, padahal kita tahu Kopi Arabika itu baru bisa tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 700 – 1600 m dari permukaan laut. Tentu tanpa dukungan sarana jalan dari Pemda, tidak mudah menjangkau wilayah kebun seperti itu.

OnlineKan BisnisMu: Mindset Pebisnis Baru
OnlineKan BisnisMu: Mindset Pebisnis Baru

Kopi Mandheling NasoRa Sasa Perlu Kerja Bersama.

Karena itulah kita melihat selama ini Madina terus berupaya untuk berbuat sesuatu bagi para penggiat Kopi.  Meski terbatas, sarana jalan terus dibangun misalnya dari desa Pagur ke Desa Padang Lawas. Madina juga sudah mempunyai partner dengan PT Kopi Rakyat Indonesia untuk bekerja sama mengembangkan lahan Kopi bersama rakyat. Juga sudah ada Rumah produksi Kopi dari BI.

Sudah didirikan Sekolah Kopi. Juga sudah ada   Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Mandailing (MPIG) sebagai pemilik Hak Paten Indikasi Geografis Kopi Arabika Mandheling dan sekaligus jadi kawan dalam meningkatkan kualitas kopi di tingkat petani. Teman para petani Kopi, baik dari sisi hulu maupun hilir atau mulai dari budidaya hingga paska panen agar sesuai dengan standar kualitas pasar internasional.

Perlu juga melakukan negosiasi dengan produsen-produsen Kopi yang selama ini memakai nama Mandailing. Mereka yang selama ini mengharumkan nama Kopi Mandheling, semua itu semoga akan membuat para penggiat Kopi Mandheling jadi lebih solid dan lebih bekerja sama untuk kemakmuran bersama. Semoga dalam hal seperti ini mereka bisa memanfaatkan BumDes menjadi salah satu solusi atau upaya untuk lebih menyemarakkan Kopi Mandheling di tingkat akar rumput.

Kopi Mandheling NasoRa Sasa Kopi Anugrah.

Tetapi seperti apa sebenarnya Kopi Mandailing ini bisa tumbuh dan berkembang serta punya rasa yang enak? Ternyata Kopi tumbuh dan berkembang di Madina sejak zaman Kolonial, sejak zaman penjajahan. Jauh sebelum Partiang Latong jadi kernet Pedati jurusan  Panyabungan-Sibolga yang menjadi pengusaha angkutan Kopi pada zamannya.

Ternyata, dan sesungguhnya Kopi Mandheling itu sendiri, dari awalnya bukanlah di desain untuk bisa menjadi Kopi terbaik. Kala itu menanam Kopi juga bukanlah sebuah usaha yang menguntungkan. Kopi Madina justeru berkembang karena hadirnya Tanam Paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai memasuki wilayah Mandheling atau Mandailing Natal tahun 1824 dan membentuk pemerintahan dibawah Karesidenan Air Bangis bagian dari Gouvernment Sumatra’s Westkust.

Pada masa itu Belanda belum bisa memasuki wilayah Mandailing. Belanda masih mencoba merebut Bonjol, Bonjol kala itu masih berstatus  DOM[1] .  Ini mengindikasikan bahwa penguasaan wilayah dengan pengerahan militer memerlukan biaya yang tidak sedikit. Harus ada biaya yang bisa diambil dari daerah taklukan.  Karena itu, selagi masa perang dan melakukan pertempuran, produksi beras lokal pun termasuk Kopi dimanfaatkan Belanda untuk menghasilkan uang. Terlebih lagi waktu itu beras masih melimpah. Semua itu dikirim ke Jawa.

Kopi Mandheling  Semangat Dagang Pantai Barat Sumatera.

Kopi Mandailing juga kembali mengingatkan kita akan kehidupan di pantai barat Sumatera, yang sudah lama sepi. Kota-kota pantai, seperti Barus, Sibolga, Natal, Air Bangis, dan Padang, sudah ratusan tahun tak lagi ingar bingar. Pada masa lalu, orang dari berbagai bangsa di dunia hilir mudik di tempat itu. Kini semuanya sunyi, tinggal kopi yang menjadi sisa kejayaan sebuah peradaban di tempat itu, yakni Kopi Mandheling atau Mandailing.

Alun-alun Kecamatan Natal sudah lama  sepi, meski kini sudah ada KEK Batahan. Beberapa meriam tua terletak di ujung alun-alun dan menghadap ke Samudra Indonesia. Kota yang dulu mempunyai Benteng Eluot yang didirikan Belanda pada tahun 1833 an dan digunakan sebagai pelabuhan dagang, bahkan ada juga yang menyebut Portugis pernah membuat benteng serupa di tempat itu, kini benar benar sepi.

Baca   Juga   :  Kemiskinan Yang MengInspirasi

Ada yang bilang ”asal-usul kopi Mandheling bukanlah dibawa oleh orang Belanda, tetapi sebagian mengatakan dibawa oleh orang Inggeris[2] tapi ada juga yang mengatakan orang Minangkabaulah yang memulainya. Orang minang yang naik haji ke Mekkah. Ketika kembali, mereka membawa biji-biji kopi dari Mekkah kemudian ditanam di daerah Minangkabau.

Kopi Mandheling NasoRa Sasa Jati Diri Madina.

Jadi, sebelum awal abad ke-18 tanaman kopi sudah ada di pantai barat Sumatera,” kata sejarawan dari Universitas Andalas, Prof Gusti Asnan.  Pada tahun 1789, kopi diperdagangkan di Kota Padang. Setahun kemudian, ada laporan yang menyebutkan, sebuah kapal Amerika yang pertama berlabuh di Kota Padang telah memuat kopi.

Kopi Lungun NasoRaSasa, Bersinergi Membangun Madina
Kopi Lungun NasoRaSasa, Bersinergi Membangun Madina

Bisnis Kopi adalah bisnis yang menarik dan menjanjikan bagi yang memang senang dengan Kopi, tetapi yang lebih menarik bagi kalangan per Kopian di Indonesia adalah bagaimana agar Kopi yang sudah banyak di kenal warga Dunia ini bisa menjadikannya lebih memberikan nilai tambah bagi para anak negeri. Idenya adalah bagaimana agar Kopi ini jadi bisnis yang menarik. Itu artinya akan lahir kelak pusat-pusat kebun Kopi yang lengkap dengan dukungannya.

Kebun-kebun Kopi yang punya sarana jalan untuk menjangkaunya. Jadi siapapun ia, mereka bisa berkebun Kopi dengan mudah. Sepeda motornya bisa jalan-jalan di tengah kebun Kopinya. Mereka juga punya banyak sumber pengetahuan terkait bagaimana caranya berkebun Kopi yang benar dan baik serta mempu memberikan hasil kepada mereka secara optimal. Mereka juga tahu terkait berbagai peralatan berbisnis Kopi.

Baik itu sarana yang baik dan benar untuk para pekebunnya, atau sarana dan teknologi yang tepat untuk para pemilik Kedai Kopi, para pemilik Kedai Panggang Kopi. Intinya kita ingin melihat  dan mendorong peran Pemda, peran Perguruan Tinggi/ Sekolah, peran Koperasi, peran Rumah Produksi dan bahkan peran para konsultan Kopi.

Peran para Kolaborator yang bisa menghadirkan bisnis Kopi yang menguntungkan bagi semua pihak, khususnya bagi warga Madina. Jadi kalau saya lagi Ngopi. Entah itu Kopi darimana maka yang ku ingat adalah Kopi Mandheling. Kopi yang membuatku maLungun kembali ke huta. Huta yang selama dimasa muda, dimasa masih ada tenaga malah justeru terlupakan.

[1] DOM itu singkatan dari Daerah Operasi Militer, dimana semua kehidupan warga di kontrol untuk memaksa mereka mematuhi peraturan.

[2] http://akhirmh.blogspot.com/2014/08/bag-2-sejarah-mandailing-koffijcultuur.html

KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua.

KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua.

Oleh Harmen Batubara

KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua. Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya  cari makan secara meramu dan mendulang, menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”, masuk dalam unsur-unsur kebudayaan universal.

Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern yang menggunakan teknologi. Dengan menggunakan penjelasan unsur-unsur kebudayaan univeral dari Koentjaraningrat itu.

Maka boleh dkatakan masyarakat yang mendiami sepanjang wilayah perbatasan Papua-PNG jika dilihat dari aspek tahapan kemajuan peradaban manusia, masyarakat Papua itu baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Traveler Ke Perbatasan
Traveler Ke Perbatasan

Betulkah KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua.

Saya lalu ingat orang Punan Kelay[1] (Orang Mapnan) menghuni Dataran Tinggi Kelay. Mereka tersebar dalam 6 desa, yakni: Long Gie (173 KK), Long Duhung (22 KK), Long Keluh (32 KK), Long Pelai (19 KK) , Long Lamcin 23 KK) dan Long Suluy (65 KK). Rata-rata pendidikan mereka adalah tidak lulus SD. Desa-desa ini berada dalam satu aliran sungai, yakni Sungai Kelay.

Sungai adalah satu-satunya sarana transportasi untuk menjangkau desa-desa ini. Memerlukan waktu 2 jam (Long Duhung) sampai 9 jam (Long Sului) perjalanan dengan ketinting (perahu kecil dengan pendorong mesin 15 pk) dari Kampung Long Gie. Ketika World Education pertama kali datang ke desa-desa orang Punan Kelay.

Mereka mendapati bahwa mereka masih sangat bergantung pada kehidupan di hutan. Rata-rata mereka hidup di hutan (meinggalkan kampung bersama seluruh anggota keluarga) selama 133-240 hari per tahun.Mencari kehidupan di alam bebas. Pertanian belum menjadi pekerjaan utama mereka.

Baca Juga : Formula Sukses,Pebisnis Affiliate: Wujudkan Peluangmu

Seperti apa sih Budaya Peramu  Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu? Dapat kita katakan masyarakat peramu di Papua juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Punan Kelay (Kalimantan ). Untuk hidup mereka harus ke luar dari desanya, berpindah desa atau nomad di hutan-hutan di sekitar tanah adat mereka. Untuk makanan alam masih mampu memberikan mereka kehidupan.

Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua
Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua

Kenapa KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua.

Untuk mendapatkan uang (kontan) mereka juga bisa menjual hasil tangkapan (binatang), kayu (gaharu), kulit kayu dll yang bisa mereka jual (barter ), tetapi jumlahnya tentu sangat tergantung hasil tangkapan mereka. Kalau melihat suku Punan Kelay mereka bisa mendapatkan uang sekitar 250 ribu per bulannya. Dalam kondisi seperti itulah mereka menjalani kehidupan mereka.

Bagi warga yang sudah agak maju, khususnya mereka yang ada dperkotaan polanya juga tentu sangat berbeda.  Budaya telah membuat mereka seolah lebih susah, kebersamaan telah salah persepsi.  Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi[2]. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak.

Setiap rumah berisikeluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga.Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnyamenjadi tidak berharga, karena kerabat hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnyatidak ada pendapatan yang tetap dari masyarakat.

Dimanapun Jadi Miskin Itu Sungguh Tidak Enak.

Menjadi orang Papua miskin atau Papua Peramu di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.

Untung sekarang  di era Jokowi-JK sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Intinya sesungguhnya warga miskin atau warga Peramu itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet, koko atau apa saja hasil panen yang bisa dijual dan mendapatkan uang kontan. Faktanya, kebun karet adalah ATM di perdesaan.

Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana dari CSR dan sejenisnya. Saya kembali ingat masyarakat peramu ysng di Punan Kelay[3]. Ketika World Education pertama kali datang ke desa-desa orang Punan Kelay, mereka menemukan warga masih sangat bergantung pada kehidupan di hutan.

Memang KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua.

Rata-rata mereka hidup di hutan (meinggalkan kampung bersama seluruh anggota keluarga) selama 133-240 hari per tahun. Namun mereka  menemukan bahwa di kampung mereka sudah ada tanaman kakao yang sama sekali tidak dipelihara. Melihat kondisi yang demikian, World Education mulai dengan mengajak beberapa keluarga untuk melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kakao mereka.

Pemeliharaan ini tidak rumit. Karena mereka hanya perlu melakukan pemangkasan tanaman dan mengurnagi pohon-pohon yang menaungi tanaman kakao mereka. Pemangkasan hanya membutuhkan waktu 2-3 hari saja. World Education juga mengajak mereka untuk berkunjung ke desa tetangga yang sudah mengembangkan kakao secara intensif. Hasilnya, enam bulan sesudah pemangkasan, mereka mulai panen kakao. Dan ternyata buah kakao tersebut sangat mudah dijual. Hal tersebut menarik minat mereka untuk menekuni tanaman kakao.

Baca Pula : Membangun Tim Sukses Pilkada

Tentu ada beberapa caya yang bisa dilakukan oleh Pemda setempat untuk mengembangkan warganya di perbatasan. Hanya saja yang sering kita temukan, justeru Pemdanya sendiri yang seolah tidak punya perhatian yang cukup untuk mengembangkan warga perbatasannya. Warga perbatasan yang bisa dikatagorikan masuk pada golongan masyarakat peramu atau warga miskin di perbatasan. Pemerintah sebenarnya sudah pernah punya pola pembangunan Desa Transmigran. Nah apa salahnya untuk mencoba konsep ini di perbatasan?

Memberdayakan Kehidupan Warga Lokal Papua.

Tapi bukan untuk warga pendatang tetapi pola transmigrasi buat warga lokal.  Ya. Buat pola Transmigrasi, tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @ dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi.

Perihal kebun karet ini, menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk.

Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”. Kebun karet ini beda dengan sawit, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya.

KebunKaret Cocok Bagi Warga Papua Sesuai Ritme Kehidupan.

Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48) meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Program kebun rakyat ini, bila bisa dikembangkan diperkampungan warga; tetapi kalau tanahnya tidak terdukung maka dicarikan tanah-tanah di pinggir jalan trans Papua yang panjangnya 4500 km lebih itu. Intinya adalah memberikan dan mentransformasi kehidupan warga Papua dari yang selama ini berupa Peramu dan Pendulang jadi pekebun karet tradisional. Program ini perlu didukung dengan kartu pintar dan kartu sehatnya Jokowi, sehingga anak-anak mereka tetap bisa bersekolah meski kebun mereka belum berhasil.

Dengan menanggung biaya hidup selama satu atau dua tahun diharapkan mereka bisa memadukan usaha kebun karetnya dengan kegiatan lain yang sifatnya masih sebagai peramu dan pendulang. Dengan tenggang waktu satu tahun, mereka diharapkan mampu beradaptasi dan melanjutkan kehidupannya selama tiga tahun ke depannya sampai karetnya bisa di sadap. Kalau ini bisa diwujudkan maka warga Papua akan bisa bertransformasi jadi warga kelas pekerja yang tidak lagi hanya sebagai seorang peramu dan pendulang.

Batas Negara Indonesia


[1] http://baltyra.com/2010/12/13/dari-peramu-menjadi-petani-yang-mandiri/

[2] ] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.

[3] http://baltyra.com/2010/12/13/dari-peramu-menjadi-petani-yang-mandiri/

Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Oleh Harmen Batubara

Warga Papua DiTengah Pembangunan. Pembangunan itu membutuhkan infrastruktur lengkap dengan budayanya, mau tidak mau dia akan menggerakkan kehidupan warga yang ada. Apapun itu adanya. Persoalannya kalau warga itu masih dalam tahapan masyarakat peramu dan pemburu maka yang timbul adalah kehawatiran. Kehawatiran bahwa pembangunan itu justeru hanya akan menyingkirkan warga yang akan dibangun itu.

Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua
Kebun Karet Bagi Warga Perbatasan Papua

Sesuatu yang sangat rasional. Hal seperti ini akan selalu berulang. Hal seperti itulah yang disampaikan Cahyo Pamungkas saat peluncuran buku Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua secara daring, Jumat (11/9/2020). Buku yang diterbitkan oleh Imparsial, TIFA, Forum Akademisi Papua Damai, dan Parahyangan Centre for Democracy and Peace Studies ini menggarisbawahi pentingnya dialog untuk menjembatani perbedaan persepsi tersebut.

Tidak ada yang baru di sana, kecuali persepsi orang atas ajakannya untuk “berdialog”. Entah apa maksudnya. Pembangunan itu memang pembawa perubahan, dan bagi mereka yang tidak bisa berubah pasti tertinggal dan ditinggalkan. Sepintas memang kejam, tetapi itulah kenyataan. Tidak ada pembangunan yang “TAYLOR MADE” sesuai dengan keadaan warganya, karena pembangunan itu adalah pembawa perubahan terbaru pada zamannya.

Mensejahterakan Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Perubahan zaman ke arah yang lebih rasional sesuai tuntutan zaman. Bagaimanakah pembangunan yang cocok untuk warga tradisional yang masih dalam tahap peramu dan pemburu? Pertama berdayakan warganya, dan teruskan pembangunan infrastrukturnya. Keduanya diserasikan. Sederhana dan tidak perlu mutar-muter.

Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya  cari makan secara meramu, berburu dan mendulang. Menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dan pedalaman Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif.

Dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern. Budaya yang menggunakan teknologi. Masyarakat Papua itu khususnya yang diperbatasan dan pedalaman baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Baca  Juga  :  Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Seperti apa Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1] Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.

Sistem budaya mengkondisikan bapa, ade, ipar, mertua tinggal bersama. Belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga. Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnya menjadi tidak berharga. Karena kerabat, hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnya menjadi tidak mencukupi.

Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga. Tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.

Uang Perlu, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Untung sekarang  di era Jokowi sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja. Misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Membangun warga Papua asli sebenarnya sama maknanya dengan menjadikan warga Papua yang masih hidup dengan pola Meramu dan Berburu (Mendulang) menjadi Petani. Warga di daerah perbatasan, pedalaman dan warga pekerja serabutan di perkotaan. Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan lewat bertani (di pedesaan_ dan punya ketrampilan di perkotaan). Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan.  Misalnya punya kebun karet.

Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet atau kebun Kopi pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana lainnya. Buat pola Transmigrasi.  Tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit.  Berikan obat hama dan juga beri mereka kebutuhan hidup selama satu tahun.

Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah
Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah

Jadi Petani, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Didik mereka agar jadi petani Karet, atau petani Kopi yang baik. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya terlalu rumit dan terlalu jauh.

Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.

Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya. Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48).

Berikan Ketrampilan, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih. Karet yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Atau cobalah ke daerah-daerah penghasil Kopi di Papua, Anda akan tahu bahwa sebagaian warga Papua sudah trampil berkebun Kopi.  Dan punya penghasilan dari sana. Misalnya kopi Baliem[2] atau Kopi Wamena. Jelasnya di Papua  terdapat beberapa daerah  kopi dan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda. Ada juga Kopi Timika yang tersebar di wilayah suku Amungme yakni di daerah Hoea, Tsinga, Utekini, dan Aroanop.  Juga ada Kopi Nabire.

Kopi Nabire lebih banyak tersebar di daerah Paniay dan Deiyai. ada lagi kopi Arfak dan Kebar di Manokwari dan Kopi Kaimana. Kopi berikutnya adalah Kopi Dogiyai, biasanya ditanam di sekeliling lembah Kamuu yang berada di pegunungan Mapia, di Kabupaten Dogiyai. dikenal sebagai biji kopi dogiyai, atau ‘Kopi Moanemani’.  Bisa dibayangkan kalau Pemda mempunyai program kerja yang bisa mempasilitasi agar warga Papua bisa punya kebun Kopi.

Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan. Di pedalaman yang ada saat ini. Maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerahnya khususnya perbatasan dan pedalaman.

Kalau hal itu yang dibicarakan, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan. Pendidikan yang mereka butuhkan, bukanlah pendidikan formal biasa seperti yang sudah kita kenal, tetapi pendidikan yang bisa membarikan mereka Kebun. Bisa membuat mereka kemampuan untuk mengelolanya dan bisa memasarkan hasilnya. Hingga mereka bisa hidup dari karyanya.

Pendidikan seperti itu menjadi pilar utama dengan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan.  Pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan, pedesaan pedalaman. Pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk pembukaan kebun karet, kopi atau Sagu. Seara tuntas sehingga mereka mampu mengelolanya. Dipercaya melalui pendidikan seperti ini, SDM perbatasan, pedesaan pedalaman dapat diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri.

Belajar Hidup, Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan kemandirian yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan ini, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan.  Pendidikan yang berorientasi kepada kearifan lokal yang berlaku. Bisa juga dengan mengirimkan SDM ini untuk belajar di luar daerahnya, ke Pemda tetangganya yang sudah lebih maju. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.

Cara Mastah Menulis Konten Berkualitas SEO Friendly
Cara Mastah Menulis Konten Berkualitas SEO Friendly

Baca   Juga   : BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Balada orang Papua  menjadi PENDATANG BARU DIATAS TANAHNYA Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itu sendiri. Hampir semua warga pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itu kita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti itu terjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua. Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana.

Setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidak mengakomodir masyarakat asli Papua. Lalu mereka mengatakan bahwa  “mereka menjadi pendatang baru di atas tanahnya sendiri”. Padahal, awalnya mereka punya toko, mereka memang diberi jatah. Tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punya kemampuan. Kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya. Mereka dapat uang tapi kemudian tersisih.

Perlu Proses,Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Hal lain yang menarik dengan Papua adalah “Budaya Proposal”. Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua[3]. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan. Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan. Mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap ganti kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[4]. Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya.

Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah. Menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.

Warga Papua DiTengah Pembangunan.

Budaya Proposal ini telah membuat ketergantungan dan pengharapan kepada pemimpinnya dengan cara yang kurang mendidik.  Karena memang tidak lebih dari “memintak belas kasihan”, meminta sumbangan demi kepentingan keluarga dan diri pribadi. Memintak kepada Putra daerah yang jadi Pemimpin mereka. Mereka merasa karena dukungannya maka sang peminpin akan hidup senang dan jadi peminpi mereka. Tentu tidak ada salahnya memintak bantuannya.

Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan. Tapi sang Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang  diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera.

“Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua. Baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat adat serta komponen lainnya. Untuk selalu bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.

 

  • [1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.
  • [2] https://www.omiyago.com/kopi-nusantara/550-omiyago-kopi-papua-baliem-100-gr
  • [3] Disebut Budaya Proposal, biasanya dalam setiap muncul kepeimpinan Baru (Gubernur, Bupati,Walikota) maka banyak warga (yang merasa “dekat” dengannya) mengajukan proposal untuk membangun sesuatu, bisa untuk ternak babi, bisa untuk menyekolahkan anak, bisa untuk memperbaiki rumah dll jumlah proposal itu bisa mencapai 20 ribuan.
  • [4] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.

jadi Youtuber itu Mengasikkan
jadi Youtuber itu Mengasikkan