Artikel Marketing, Lebih Kuat Dari Iklan. Memang betul seperti itu? Seperti apa dan bagaimana sih cara kerjanya? Salah satu cara mempromosikan Produk dan atau Website secara GRATIS adalah dengan Artikel Marketing. Sebagai bonus tambahan, metode “gratis” ini dapat meningkatkan trafik situs dan penjualan Anda.
Bisa menggandakan atau bahkan melipatgandakan penghasilan Anda. Mau lihat polanya? Kita mengetahui bahwa artikel adalah salah satu cara termudah untuk mempromosikan situs web Anda untuk menghasilkan lebih banyak trafik dan meningkatkan penghasilan Lebih besar lagi.
Intinya Tulis artikel yang berkaitan dengan situs web Anda dan kirimkan ke situs yang banyak dicari oleh para pembaca, misalnya situs Kompasiana Dll. Caranya juga mudah dilakukan, membutuhkan sedikit waktu tetapi dapat meningkatkan trafik, penjualan dan tentunya penghasilan Anda. Lalu? Bagaimana menulis artikel dapat meningkatkan trafik dan pendapatan?
Intinya. Artikel yang kita tulis di situs Kompasiana atau situs sejenis lainnya berisi tautan atau info ke situs web kita sendiri. Pembaca yang tertarik, setelah membaca artikel dan kemudian tertarik, mungkin memilih untuk mengeklik tautan tersebut dan mengunjungi Anda secara tidak terduga.
Menulis di Situs yang banyak dikunjungi pembaca juga membuat artikel anda bisa dimanfaatkan webmaster lain yang mungkin ingin mempublikasikan artikel tersebut di situs mereka. Sesuatu hal sederhana yang sering terlupakan.
Jika ya, artikel Anda akan menyertakan link kembali ke situs Anda. Dan siapapun yang membaca artikel di situs tersebut tetap dapat mengklik link tersebut untuk mengunjungi situs Anda. Ketika jumlah artikel yang Anda terbitkan bertambah banyak, dan semakin banyak artikel tersebut muncul di berbagai situs web.
Maka jumlah total tautan ke situs Anda juga meningkat. Mesin pencari seperti Google, Bing Dll., sangat terpikat oleh banyaknya tautan yang masuk ke situs web anda. Mereka pasti percaya dan melihat pentingnya situs anda.
Semakin banyak tautan masuk yang dimiliki situs web, semakin penting mesin pencari melekat padanya. Ini kemudian akan meningkatkan penempatan website Anda di hasil pencarian. Bisa jadi akan ditaruh di halaman pertama pada baris pertama. Kebayang nggak?
Jika situs Anda mempromosikan produk atau layanan, tautan yang anda peroleh dari berbagai artikel Anda itu sama saja atau berarti lebih banyak lagi pelanggan potensial bagi Anda. Sekalipun pengunjung hanya sekedar menelusuri secara sepintas pada saat ini, tetapi bukan tidak mungkin besok atau lusa mereka akan datang lagi. Kalau ternyata memang mereka membutuhkannya. Ya sesederhana itu.
Ada juga orang yang sudah memikirkan hal-hal spesifik yang mereka perlukan tetapi belum bisa memutuskan di antara banyak pilihan yang ada di online. Kemungkinannya adalah, mereka mungkin menemukan salah satu artikel Anda, tertarik dengan konten yang Anda tulis, kemudian mereka mengunjungi situs Anda, dan tertarik dengan promosi Anda. Mereka akan senang dengan anda berikut produk serta situs yang anda kelola.
Artikel Marketing Lebih Kuat Dari Iklan?
Tidak mengherankan mengapa banyak webmaster belakangan ini, menghidupkan kembali gaya pemasaran Online yang selama ini jadi primadonanya. Mereka kembali mau meluangkan waktu untuk menulis. Mereka lebih banyak artikel tentang situs mereka dibandingkan melakukan cara promosi lainnya. Membuat situs mereka dikenal lebih mudah. Mereka percaya, jika memiliki artikel lebih banyak.
Jelas akan meningkatkan link dan trafik dan membuatnya dapat diakses oleh pengunjung yang mencari di Internet. Karena saat ini banyak orang mencari kebutuhan mereka secara online, menempatkan situs Anda di mesin pencari melalui artikel Anda adalah salah satu cara untuk memberi tahu mereka tentang Anda dan bisnis Anda.
Perlu dipahami, Mesin pencari seperti Google tidak hanya mengindeks situs web, mereka juga mengindeks artikel yang diterbitkan. Mereka juga mengindeks artikel apa pun yang ditulis tentang topik situs web Anda. Jadi, begitu seseorang mencari topik yang sama, mesin pencari akan menampilkan situs Anda atau bahkan mungkin menampilkan artikel yang telah Anda tulis.
Artikel Marketing Lebih Kuat Dari Iklan,Coba Saja
Dan kalau dipikir-pikir, cara ini sangat mudah dilakukan dan itu akan membawa mereka ke situs Anda. Jadi jeroannya? Hanya dengan artikel, mesin pencari akan memajangnya di posisi yang tepat untuk kepentingan anda.Hal yang baik tentang artikel adalah Anda dapat menulis tentang hal-hal yang ingin diketahui orang. Hal ini dapat dicapai dengan suasana hati yang paling bersahabat, namun dengan cara yang profesional, dengan sedikit tambahan promosi penjualan yang tidak terlalu jelas.
Jika dipikir-pikir, hanya beberapa menit waktu Anda untuk menulis satu artikel dan mengirimkannya ke situs konten gratis. Idenya sama dengan bila menulis di Kompasiana Dll. Dalam jangka waktu singkat, konten tersebut didistribusikan ke lebih banyak situs daripada yang dapat Anda bayangkan. Bahkan sebelum Anda mengetahui apa yang sedang terjadi. Ternyata Anda telah mendapatkan lebih banyak pengunjung dari pada sebelumnya. Tapi bagaimana cara menuliskan artikel yang menarik itu. Ya anda mampir saja ketempat saya, atau bisa juga lewat membaca buku saya ini. Ya sesederhana itu.
Jika Anda merasa membuang-buang waktu untuk menulis artikel-artikel ini. Terlebih lagi mengabaikan fakta saat Anda akan melihatnya dicetak dan tersebar luas di jagad Internet. Belum lagi perhatian dan minat tertentu yang diberikan orang pada situs web dan produk atau layanan Anda. Maka rasanya anda akan “rugi” besar. Melewatkan peluang besar yang bisa anda buat secara gratis.
Cobalah menulis beberapa artikel dan Anda akan melihat lonjakan trafik situs, popularitas tautan, dan minat yang datangnya tiba-tiba. Sebelum Anda menyadarinya, penghasilan Anda akan berlipat ganda dan bahkan tiga ayau empat kali lipat. Rasa-rasanya tidak ada Upaya yang seperti ini dalam mendapatkan manfaat besar secara gratis ! Cobalah jadi lebih realistis.
Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua. Budaya cari makan secara meramu dan mendulang, menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”, masuk dalam unsur-unsur kebudayaan universal. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, dan berada pada kualitas primitif.
Belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern yang menggunakan teknologi. Dengan menggunakan penjelasan unsur-unsur kebudayaan univeral dari Koentjaraningrat itu maka masyarakat yang mendiami sepanjang wilayah perbatasan Papua-PNG jika dilihat dari aspek tahapan kemajuan peradaban manusia, masyarakat Papua itu baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.
Sepertiapa sih Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1]Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papuanilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papuabukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisikeluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagiacara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga.Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnyamenjadi tidak berharga, karena kerabat hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnyatidak ada pendapatan yang tetap dari masyarakat.
Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan. Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.
Untung sekarang di era Jokowi-JK sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.
Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet. Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana dari Free Port dan sejenisnya. Buat pola Transmigrasi; tapi khusus orang lokal.
Cara Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua.
Sediakan lahan @ dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya lain.
Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.
Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya.
Membangunan Warga Perbatasan Berbudaya Papua.
Itulah yang dilakukan Modestus Kosnan (48) meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.
Program kebun rakyat ini, bila bisa dikembangkan diperkampungan warga; tetapi kalau tanahnya tidak terdukung maka dicarikan tanah-tanah di pinggir jalan trans Papua yang panjangnya 4500 km lebih itu. Intinya adalah memberikan dan mentransformasi kehidupan warga Papua dari yang selama ini berupa Peramu dan Pendulang jadi pekebun karet tradisional. Program ini perlu didukung dengan kartu pintar dan kartu sehatnya Jokowi, sehingga anak-anak mereka tetap bisa bersekolah meski kebun mereka belum berhasil.
Dengan menanggung biaya hidup selama satu atau dua tahun diharapkan mereka bisa memadukan usaha kebun karetnya dengan kegiatan lain yang sifatnya masih sebagai peramu dan pendulang. Dengan tenggang waktu satu tahun, mereka diharapkan mampu beradaptasi dan melanjutkan kehidupannya selama tiga tahun ke depannya sampai karetnya bisa di sadap. Kalau ini bisa diwujudkan maka warga Papua akan bisa bertransformasi jadi warga kelas dunia kerja yang tidak lagi hanya sebagai seorang peramu dan pendulang.
Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan yang ada saat ini, maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) perbatasan menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerah perbatasan. Berbicara lebih jauh tentang SDM ini, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan dan diberdayakan guna meningkatkan kualitas dari SDM perbatasan itu sendiri.
Pendidikan menjadi pilar utama dan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan. Bahkan, melalui pendidikan, SDM perbatasan diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan competitiveness yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah.
Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan, di mana di antaranya adalah pengembangan pendidikan yang berorientasi kepada kearifan local yang berlaku, pengembangan pendidikan dengan mengirimkan SDM di wilayah perbatasan untuk belajar di luar daerahnya atau bila perlu ke negeri tetangga. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.
Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua.
Balada orang Papua menjadi pendatang baru diatas Tanahnya Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itusendiri. Hampir semua bangsa pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itukita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti ituterjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua.
Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana, setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidakmengakomodir masyarakat asli Papua untuk berjualan di situ. Tidak adamasyarakat asli Papua yang berjualan di situ. Lalu mereka mengatakan bahwa “mereka menjadi pendatang baru di atastanahnya sendiri”.
Padahal bisa terjadi, awalnya mereka punya toko, merekamemang diberi jatah; tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punyakemampuan; kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya,mereka dapat uang tapi kemudian tersisih.
Sesungguhnya hal seperti ini bukanlah monopoli Papua, di Jawa dan Sumatera atau dimana saja hal seperti ini pernah terjadi. Putra daerah biasanya tidak atau belum mempunyai kemampuan untuk mengelola usaha. Umumnya dahulu istilahnya Ali Baba, maksudnya yang punya atau pemilik adalah orang pribumi atau daerah tetapi yang mengoperasional kannya adalah warga keturunan Tionghoa atau pendatang lainnya.
Membangunan Papua Lewat BudayaNya.
Hal seperti ini terjadi bertahun-tahun dan itu bisa dimana saja dan bila tidak bisa dikelola dengan baik maka ia akan menjadi sumber kecemburuan sosial. Jadi sesungguhnya yang terjadi di Papua ini juga adalah sesuatu yang alami sesuai dinamika perubahan itu sendiri. Hanya saja memang kemudian lalu dibesar-besarkan.
Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan dari Otonomi daerah. Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan, mereka belum bisa menolong dirinya sendiri. Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.
Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[2] Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya.
Membangunan Perbatasan Papua Lewat Budayanya.
Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.
Dikatakannya, Tanah Papua adalah surga yang jatuh di bumi, hitam kulit keriting rambut adalah kebanggaan dan kekuatan kami. Ini adalah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa untuk kita syukuri dan kita Jaga. Kenapa kehidupan di Papua yang ibarat surga tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Sehingga melemahkan semangat hidup mereka. Untuk menciptakan kultur yang baru terangkat dari ketidak pedulian mereka. Khususnya menghargai dan menjaga identitas dirinya sebagai masyarakat bangsa dan Negara yang pluralistik ini.
Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan. Kala itu Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua.
Semangat Bangkit Mandiri dan Sejahtera. “Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua. Baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat. Demikian juga masyarakat adat serta komponen lainnya untuk selalu bekerja dengan hati. Dengan penuh kerendahan hati serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.
[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.
[2] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.
Warga Papua DiTengah Pembangunan. Pembangunan itu membutuhkan infrastruktur lengkap dengan budayanya, mau tidak mau dia akan menggerakkan kehidupan warga yang ada. Apapun itu adanya. Persoalannya kalau warga itu masih dalam tahapan masyarakat peramu dan pemburu maka yang timbul adalah kehawatiran. Kehawatiran bahwa pembangunan itu justeru hanya akan menyingkirkan warga yang akan dibangun itu.
Sesuatu yang sangat rasional. Hal seperti ini akan selalu berulang. Hal seperti itulah yang disampaikan Cahyo Pamungkas saat peluncuran buku Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua secara daring, Jumat (11/9/2020). Buku yang diterbitkan oleh Imparsial, TIFA, Forum Akademisi Papua Damai, dan Parahyangan Centre for Democracy and Peace Studies ini menggarisbawahi pentingnya dialog untuk menjembatani perbedaan persepsi tersebut.
Tidak ada yang baru di sana, kecuali persepsi orang atas ajakannya untuk “berdialog”. Entah apa maksudnya. Pembangunan itu memang pembawa perubahan, dan bagi mereka yang tidak bisa berubah pasti tertinggal dan ditinggalkan. Sepintas memang kejam, tetapi itulah kenyataan. Tidak ada pembangunan yang “TAYLOR MADE” sesuai dengan keadaan warganya, karena pembangunan itu adalah pembawa perubahan terbaru pada zamannya.
Mensejahterakan Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Perubahan zaman ke arah yang lebih rasional sesuai tuntutan zaman. Bagaimanakah pembangunan yang cocok untuk warga tradisional yang masih dalam tahap peramu dan pemburu? Pertama berdayakan warganya, dan teruskan pembangunan infrastrukturnya. Keduanya diserasikan. Sederhana dan tidak perlu mutar-muter.
Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya cari makan secara meramu, berburu dan mendulang. Menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dan pedalaman Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif.
Dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern. Budaya yang menggunakan teknologi. Masyarakat Papua itu khususnya yang diperbatasan dan pedalaman baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.
Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Seperti apa Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1] Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.
Sistem budaya mengkondisikan bapa, ade, ipar, mertua tinggal bersama. Belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga. Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnya menjadi tidak berharga. Karena kerabat, hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnya menjadi tidak mencukupi.
Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan. Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga. Tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap.
Uang Perlu, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Untung sekarang di era Jokowi sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja. Misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.
Membangun warga Papua asli sebenarnya sama maknanya dengan menjadikan warga Papua yang masih hidup dengan pola Meramu dan Berburu (Mendulang) menjadi Petani. Warga di daerah perbatasan, pedalaman dan warga pekerja serabutan di perkotaan. Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan lewat bertani (di pedesaan_ dan punya ketrampilan di perkotaan). Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan. Misalnya punya kebun karet.
Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet atau kebun Kopi pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana lainnya. Buat pola Transmigrasi. Tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit. Berikan obat hama dan juga beri mereka kebutuhan hidup selama satu tahun.
Jadi Petani, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Didik mereka agar jadi petani Karet, atau petani Kopi yang baik. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya terlalu rumit dan terlalu jauh.
Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.
Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya. Itulah yang dilakukan Modestus Kosnan (48).
Berikan Ketrampilan, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih. Karet yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.
Atau cobalah ke daerah-daerah penghasil Kopi di Papua, Anda akan tahu bahwa sebagaian warga Papua sudah trampil berkebun Kopi. Dan punya penghasilan dari sana. Misalnya kopi Baliem[2] atau Kopi Wamena. Jelasnya di Papua terdapat beberapa daerah kopi dan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda. Ada juga Kopi Timika yang tersebar di wilayah suku Amungme yakni di daerah Hoea, Tsinga, Utekini, dan Aroanop. Juga ada Kopi Nabire.
Kopi Nabire lebih banyak tersebar di daerah Paniay dan Deiyai. ada lagi kopi Arfak dan Kebar di Manokwari dan Kopi Kaimana. Kopi berikutnya adalah Kopi Dogiyai, biasanya ditanam di sekeliling lembah Kamuu yang berada di pegunungan Mapia, di Kabupaten Dogiyai. dikenal sebagai biji kopi dogiyai, atau ‘Kopi Moanemani’. Bisa dibayangkan kalau Pemda mempunyai program kerja yang bisa mempasilitasi agar warga Papua bisa punya kebun Kopi.
Strategi Adaptasi, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan. Di pedalaman yang ada saat ini. Maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerahnya khususnya perbatasan dan pedalaman.
Kalau hal itu yang dibicarakan, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan. Pendidikan yang mereka butuhkan, bukanlah pendidikan formal biasa seperti yang sudah kita kenal, tetapi pendidikan yang bisa membarikan mereka Kebun. Bisa membuat mereka kemampuan untuk mengelolanya dan bisa memasarkan hasilnya. Hingga mereka bisa hidup dari karyanya.
Pendidikan seperti itu menjadi pilar utama dengan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan. Pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan, pedesaan pedalaman. Pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk pembukaan kebun karet, kopi atau Sagu. Seara tuntas sehingga mereka mampu mengelolanya. Dipercaya melalui pendidikan seperti ini, SDM perbatasan, pedesaan pedalaman dapat diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri.
Belajar Hidup, Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan kemandirian yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan ini, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan. Pendidikan yang berorientasi kepada kearifan lokal yang berlaku. Bisa juga dengan mengirimkan SDM ini untuk belajar di luar daerahnya, ke Pemda tetangganya yang sudah lebih maju. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.
Balada orang Papua menjadi PENDATANG BARU DIATAS TANAHNYA Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itu sendiri. Hampir semua warga pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itu kita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti itu terjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua. Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana.
Setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidak mengakomodir masyarakat asli Papua. Lalu mereka mengatakan bahwa “mereka menjadi pendatang baru di atas tanahnya sendiri”. Padahal, awalnya mereka punya toko, mereka memang diberi jatah. Tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punya kemampuan. Kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya. Mereka dapat uang tapi kemudian tersisih.
Perlu Proses,Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Hal lain yang menarik dengan Papua adalah “Budaya Proposal”. Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua[3]. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan. Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan. Mereka belum bisa menolong dirinya sendiri. Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.
Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap ganti kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[4]. Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya.
Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah. Menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.
Warga Papua DiTengah Pembangunan.
Budaya Proposal ini telah membuat ketergantungan dan pengharapan kepada pemimpinnya dengan cara yang kurang mendidik. Karena memang tidak lebih dari “memintak belas kasihan”, meminta sumbangan demi kepentingan keluarga dan diri pribadi. Memintak kepada Putra daerah yang jadi Pemimpin mereka. Mereka merasa karena dukungannya maka sang peminpin akan hidup senang dan jadi peminpi mereka. Tentu tidak ada salahnya memintak bantuannya.
Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan. Tapi sang Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera.
“Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua. Baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat adat serta komponen lainnya. Untuk selalu bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.
[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.
[3] Disebut Budaya Proposal, biasanya dalam setiap muncul kepeimpinan Baru (Gubernur, Bupati,Walikota) maka banyak warga (yang merasa “dekat” dengannya) mengajukan proposal untuk membangun sesuatu, bisa untuk ternak babi, bisa untuk menyekolahkan anak, bisa untuk memperbaiki rumah dll jumlah proposal itu bisa mencapai 20 ribuan.
[4] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.