Oleh Harmen Batubara
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat. Apa yang terjadi di kalangan petani pada masa Panen? Saat panen tiba petani biasanya harus menghadapi kenyataan harga jual yang rendah dan sulitnya memasarkan hasil panen mereka. Harga jual yang rendah di tingkat petani diantaranya disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi dan ketergantungan petani pada tengkulak. Tengkulak merupakan pengepul yang membeli hasil panen dari petani dan menyalurkannya ke pengecer.
Sayangnya, ketergantungan petani terhadap tengkulak ini tak dipungkiri masih terus terjadi sampai saat ini. Hal ini antara lain disebabkan ketidak tahuan petani terhadap informasi pasar. Informasi pemasaran seperti harga jual di tingkat konsumen. Dan bagaimana agar konsumen lebih mudah mengakses hasil panen petani. Mestinya para petani kita sudah punya Pasar yang punya gudang pendingin, dan pemasaran secara digital lewat aplikasi. Pasar yang bisa mereka kembangkan sendiri lewat BumDes dan Bumnas.
Baca Juga : Penulis Life Style DotCom
Saat seperti ini kita bisa dan senang melihat kalangan Petani Cabe di Kabupaten Seleman. Yogyakarta. Karena dengan sistem lelang cabai ini, para petani dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Dan tidak mudah dipermainkan tengkulak atau pengepul. Pemasaran hasil panen cabai melalui sitem lelang yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ternyata mampu meningkatkan keuntungan petani maupun kelompok tani di wilayah setempat hingga mencapai ratusan juta.
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat Saat Panen.
“Karena dengan sistem lelang cabai ini, para petani dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Dan tidak mudah dipermainkan tengkulak atau pengepul. Keberhasilan petani cabai dalam mengelola hasil panen terlihat dari kinerja pasar lelang cabai. Pasar lelang ini bertujuan untuk mempererat jaringan pemasaran antar petani cabai. Keberhasilan pasar lelang cabai juga membawa Kabupaten Sleman ditetapkan Kementerian Pertanian dan Pemerintah DIY sebagai sentra cabai. Di Sleman tanaman cabai dikembangkan di wilayah timur, tengah dan sebagian besar bagian barat seluas 1.500 hektare.
Saat ini perkembangan usaha komoditas cabai di wilayah Sleman telah berjalan dan berkembang dengan baik. Mulai dari produktivitas cabai mencapai 9 hingga 12 ton per hektare. Penerapan musim tanam untuk mengatasi ketersediaan cabai dan penerapan prinsip tata niaga menggunakan lelang. Di Sleman terdapat 11 lelang atau titik kumpul yang tersebar di wilayah Kecamatan Tempel, Turi, Ngaglik, Kalasan, Pakem Kecamatan Ngemplak.
Usaha ini akan jauh lebih baik lagi, kalau Pemda dan BumDes setempat bisa membangun infrastruktur berupa ” Gudang Pendingin” dan juga jaringan pemasaran “berupa” Aplikasi bersama dalam pemasaran Komoditas Pertanian mereka. Kita ingin melihat para pihak mauterus membangun Sinergi agar bisa berjalan lebih baik lagi.
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat Sejak Dini.
Selama ini drama susahnya para petani takkala PANEN RAYA adalah Bulog yang tidak mampu menyerap panen gabah mereka. Seperti kejadian di tahun 2017. Perum Bulog menetapkan target penyerapan beras dan gabah tahun 2017 mencapai 3,7 juta ton[1]. Target penyerapan tahun ini lebih rendah dari target penyerapan tahun 2016 yang mencapai 3,9 juta ton. Pasalnya realisasi penyerapan gabah dan beras Bulog sepanjang tahun 2016 hanya 2,97 juta ton. Hal itu disebabkan harga beras di tingkat petani yang sudah meningkat di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sehingga Bulog tidak perlu melakukan penyerapan kecuali untuk kebutuhan stok saja.
Direktur Pengadaan Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan. Dari target penyerapan tahun ini sebesar 3,7 juta ton. Bulog menargetkan penyerapan beras public service obligation (PSO) sebesar 3,2 juta ton, beras komersil 500 ton. Ia bilang, target penyerapan beras dan gabah Bulog tahun ini dibuat berdasarkan realisasi penyerapan tahun 2016 yang jauh dari target. Kendati demikian, penyerapan tahun 2016 jauh di atas realisasi penyerapan tahun 2015 sebesar 2,4 juta ton.
Mari kita lihat kejadian di tahun 2018 lalu. “Kami optimistis target penyerapan ini dapat tercapai kalau kondisi cauaca bagus dan normal,” ujarnya kepada KONTAN, Kamis (19/1/2018). Ia menjelaskan kendala utama yang dialami Bulog untuk mencapai target penyerapan tahun lalu adalah harga beras. Harga di lapangan sudah tinggi atau di atas HPP yakni Rp 7.300 per kilogram (kg). Bila Bulog memaksakan terus menyerap, maka akan terjadi lonjakan harga dan hal ini berpotensi membuat inflasi lebih tinggi.
Semangat Mensinergikan Pemasaran Pertanian Rakyat.
Namun kalau melihat laporan Kementerian Pertanian (Kemtan) tahun lalu. Produksi mencapai 79 juta ton gabah kering giling (GKG), maka target penyerapan tahun ini dapat tercapai. Sejumlah upaya juga dilakukan Bulog untuk mencapai target tersebut, yakni dengan : Pertama, optimalisasi program ON FARM. Perum Bulog melalui kerja sama dengan Gabungan kelompok tani (gapoktan). Maupun sinergi dengan BUMN lain seperti PT Pertani Persero yang memiliki mesin giling padi dan pengering serta gudang.
Kedua, Bulog mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras dengan rentang kualitas dan harga tertenttu. Yang memungkinkan Bulog bisa mencapai jumlah serapan yang lebih besar. Caranya dengan memperkuat unit-unit pengolahan di daerah. Ketiga, Bulog juga melakukan pengembangan infrastruktur. Keempat, meningkatkan pasar beras selain PSO., antara lain dengan pengembangan jaringan rumah pangan kita (RPK), lumbung pangan desa atau BUMdes yang digagas Kementerian Desa.
Selain itu, Bulog juga akan mempersiapkan stok pangan untuk program rakyat miskin (raskin) dimana pada tahun ini di bagi dua. Pertama lewat program raskin dan kedua lewat penggunaan evo-cer atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dimana setiap masyakat memiliki uang non tunai sebesar Rp 110.000 per bulan untuk pembelian beras. Meskipun program ini ada, namun Tri menilai tidak berdampak signifikan pada penyerapan Bulog. Karena volume beras yang disiapkan sama dengan tahun lalu yakni 15,7 juta ton. Khusus untuk raskin sebesar 14,2 juta ton dan untuk pasar e vocer sebesar 1,6 juta ton.
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat, dimana Bumnas?
Dalam penglihatan kita, secara konsep peran Bulog sudah sesuai dengan Visi dan Misi nya. Tetapi dalam pelaksanaannya, terlihat ketidak siapan mereka dalam melihat Dinamika pasar. Begitu sesuatu terjadi perubahan maka terkesan mereka “ memintak petunjuk lagi” ke Pusat. Hal seperti ini tidak jauh bedanya dengan cara penaggulangan Bencana pada era sebelum pemerintahan Jokowi-JK. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Williem Rampangilei[2] menceritakan tentang ketidakpuasan Presiden Jokowi dalam penanggulangan bencana di Indonesia.
“Berawal dari gempa Pidie Aceh pada Desember 2016, Presiden tidak puas dengan cara kerja di lapangan dalam penangangan bencana dan minta percepatan,” ujar Williem di depan 3.200 peserta Rapat Kerja Nasional BNPB-BPBD 2017 di Yogyakarta, Kamis (23/2/2017). Dengan ketidakpuasan ini, cara kerja penanggulangan bencana pun diubah. Semula ketika terjadi bencana, penilaian dan verifikasi infrastruktur untuk rekonstruksi dilakukan pasca tahap tanggap bencana. Sebab, pada tanggap bencana biasanya fokus pada penyelamatan manusia. Tapi, karena Presiden tidak puas, tahap itu pun dilakukan bersamaan dengan verifikasi infrastruktur yang rusak untuk tahap rekonstruksi.
“Jadi ketika satu hari verifikasi menemukan 15 bangunan rusak, langsung keesokan harinya bantuan ditransfer dari pemerintah ke warga bersangkutan. Tidak perlu melewati tahap birokrasi yang berlapis-lapis dan memakan waktu berbulan-bulan,” ucap dia. BNPB, kata Williem, juga menurunkan tim untuk menganalisis. Sehingga ketika tanggap darurat selesai, rekonstruksi dan rehabilitasi pun juga bisa selesai lebih cepat. Karena itu, dia mengatakan, personel BPBD harus berkualitas dan bersertifikasi. Bulog juga harus belajar dari cara kerja BNPB.,sehingga setiap tahun tidak terkesan selalu kedodoran serta membuat masyarakat bingung dengan stabilitas harga.
Baca Juga : BumDes Jaya Indonesia Sejahtera
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat Secara Terpadu.
Hal yang sama juga bisa kita temukan pada komoditi lain, misalnya pada harga-harga Bawang merah atau bawang putih. Yang terjadi di pasaran sebenarnya sangat jelas. Kalau pasokan berkurang maka harga akan mengalami kenaikan. Proses itu sebenarnya terjadi tidak dalam waktu seketika. Artinya kalau memang kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian bekerja dengan baik. Mereka juga sudah pasti tahu bakal apa yang akan terjadi pada komoditas tertentu. Sehingga dengan mekanisme serta kerja sama lewat jaringan mereka. Pastilah dapat berbuat sesuatu sehingga kenaikan harga-harga tidak menjadi gaduh di saantero negeri. Mari kita lihat contoh berikut ini.
Pasokan Kurang. Harga Bawang Merah[3] Naik Rp 2.000/Kg. Sejak awal Februari 2018, harga bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, mulai mengalami kenaikan. Kenaikan ini dipicu jumlah menurunnya produksi bawang pada Februari. Pantauan di pasar Induk Brebes pada Senin (5/2/2018) siang, kenaikan harga bawang rata rata sebesar Rp 2.000 per kg. Ini berlaku pada semua jenis bawang kecuali bawang ukuran paling kecil. Tati (40), salah satu pedagang eceran bawang di Pasar Induk Brebes menjelaskan. Kenaikan harga ini sudah berlangsung sejak 3 hari lalu. “Kalau dirata-rata kenaikannya Rp.2.000 untuk semua jenis, kecuali yang paling kecil.
Bawang kelas pabrikan ini masih rendah seperti kemarin kemarin,” ujar Tati saat ditemui di kompleks Pasar Induk Brebes. Ditempat terpisah, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari mengatakan, harga bawang merah di petani saat ini memang sudah sedikit mengalami kenaikan. Yakni, kualitas super dari semula Rp 6.000 per kg untuk kualitas super naik menjadi Rp 8.000 tiap kg. Meski mengalami kenaikan namun belum bisa memberikan keuntungan bagi petani. Sebab, harga minimal bawang merah agar petani mendapatkan untung adalah di kisaran Rp.13.000 – Rp.15.000 tiap kg.
Mencari Pola Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat.
Kenaikan itu terjadi menurut Juwari, karena stok di petani mulai berkurang. Akan tetapi, ketika panen kembali terjadi di daerah, maka diperkirakan harga akan kembali anjlok. Kabid perdagangan Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Kabupaten Brebes, Ahmad Ma’mun mengungkapkan. Kenaikkan ini akibat produksi bawang yang mengalami penurunan, hingga lebih dari 50 persen. Dikatakan, pada bulan Januari lalu, jumlah produksi bawang merah di Brebes mencapai 86 ribu ton dan pada bukan Februari turun menjadi 32 ribu ton.
”Kemarin sudah mulai membaik harganya. Kenaikkan rata rata Rp 1.000 sampai Rp 3.000 per kg. Ini di semua pasar pasar yang ada di Brebes. Tidak hanya di pasar Induk saja tapi kenaikan di semua pasar,” terang Ahmad Ma’mun saat melakukan pengecekan harga di Pasar Induk. Kenaikan ini diprediksi akan terus berlangsung. Sepanjang produk bawang dari luar baik dari luar negeri maupun luar kota, tidak merambah ke pasaran Brebes.
Contoh lainnya terkait komoditi bawang putih Menjelang bulan Ramadan, harga bawang putih mengalami kenaikan cukup di sejumlah pasar. Kenaikan harga sendiri sudah berlangsung selama kurang lebih 2 pekan terakhir[4]. Harga komoditas bumbu dapur naik dari di kisaran Rp 60.000/kg, dari sebelumnya kisaran Rp 40.000/kg. Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto. Ia mengungkapkan kenaikan harga bawang putih tersebut dipicu kenaikan harga bawang putih di China.
Bersinergi Memasarkan Pertanian Rakyat.
Sebagai informasi, sebanyak sekitar 95% kebutuhan bawang putih bergantung impor. Terbanyak dari China.”Setelah kita lakukan kajian, informasi dari importir. Kenaikan bawang putih terjadi karena kelangkaan bawang putih di China. Biasanya sudah panen, tapi karena cuaca baru panen di sekitar akhir Mei dan Juni,” jelas Prihasto kepada detikFinance, Minggu (7/5/2017).
Diungkapkannya, bawang putih yang beredar di pasaran saat ini merupakan stok lama. Harga akan kembali normal setelah pasokan bawang putih kembali pulih. “Bawang putih yang ada saat ini, itu yang dikeluarkan dari stok lama. Karena memang di China belum panen,” ungkap Prihasto. Lanjut dia, sebenarnya ada pasokan bawang putih impor lain yang cukup besar selain dari China, yakni yang berasal dari India. Namun rupanya bawang putih India kurang laku di pasaran.”Sebenarnya ada cukup banyak stok bawang putih dari India, saat bersamaan bawang putih dari China berkurang. Tapi di pasar kurang laku,” ujar Prihasto.
Dari contoh kedua komiditi tersebut, maka terlihat dengan sangat jelas bagaimana sebenarnya mekanisme harga-harga itu bergerak naik. Dan kalau mereka yang mempunyai tugas untuk menstabilkan harga-harga itu bekerja dengan baik. Maka jauh sebelum keadaan itu tiba, mereka sudah bisa berbuat sesuatu. Dengan demikian berbagai kabar kenaikan harga-harga komditi itu tidak jadi berita yang nggak sedap didengar di setiap waktu. Kita hanya ingin mengatakan bahwa mereka yang diberi amanah untuk menjaga harga-harga komoditi itu, ya belum bekerja sebagaimana mestinya. Cara kerja mereka masih sangat jauh dari yang diharapkan.
[1] http://www.bulog.co.id/berita/37/6004/10/1/2017/Target-Bulog-Penyerapan-Beras-&-Gabah-3,7-Juta-Ton.html ; [2] http://www.liputan6.com/news/read/2866488/presiden-tidak-puas-bnpb-ubah-cara-kerja-penanggulangan-bencana ; [3] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3850758/pasokan-kurang-harga-bawang-merah-naik-rp-2000kg ; [4] https://finance.detik.com/sosok/d-3494309/penyebab-harga-bawang-putih-naik-pasokan-dari-china-berkurang
1 Comments